6)Akan tetapi, Petrus berkata,"Emas dan perak tidak ada padaku. Tetapi apa yang ada padaku, itulah yang akan kuberikan kepadamu. Dalam nama Isa Al-Masih, orang Nazaret itu, berjalanlah engkau!" 7)Petrus memegang tangan kanannya lalu menolongnya berdiri. Saat itu juga kaki dan mata kakinya menjadi kuat. 8)Ia melompat tinggi-tinggi, lalu berdiri dan mulai berjalan ke sana ke mari. Kemudian ia masuk ke dalam Bait Allah mengikuti Petrus dan Yahya sambil berjalan dan melompat-lompat serta memuji-muji Allah.

(Kisah Para Rasul 3: 6-8, Kitab Suci Injil terj. 1912)





Jumat, 25 Februari 2011

PEACE GENERATION Edisi Kristen dan Katolik




Suatu usaha untuk menumbuhkan generasi baru Indonesia. Generasi pendamai, generasi yang dapat hidup serasi dalam kenyataan sebagai bangsa yang kaya dengan keanekaragaman. Juga generasi yang berakhlak dan berlaku kepada sesama manusia menurut harkat dan martabatnya sebagai insan ciptaan Tuhan.

www.peace-generation.com



No. ISBN: 978-602-97520-3-8


No. ISBN: 978-602-97520-4-5


No. ISBN: 978-602-97520-5-2


No. ISBN: 978-602-97520-6-9


No. ISBN: 978-602-97520-7-6


No. ISBN: 978-602-97520-8-3


No. ISBN: 978-602-97520-9-0


No. ISBN: 978-602-98932-0-5


No. ISBN: 978-602-98932-1-2


No. ISBN: 978-602-98932-2-9


No. ISBN: 978-602-98932-3-6


No. ISBN: 978-602-98932-4-3

Ukuran: 15 x 21 cm, masing-masing jilid 12 halaman, 
berwarna, kertas Matepaper 120 gr, 2011

Harga 1 set (jilid 1 - 12), Rp 60.000




No. ISBN: 978-602-98932-5-0

Ukuran: 21 x 24 cm, 200 halaman, HVS 80 gr, 2011
Harga: Rp 48.000

Kamis, 24 Februari 2011

Janji-janji bagi Ismael dalam Alkitab





(15,5 x 22,5) cm; 229 hlm; Supernova 65 gr; 2011
ISBN: 978-602-97520-2-1
Rp 45.000





“Secara keseluruhan, saya rasa Dr. Sujono menangani kisah-kisah Hagar/Ismael dalam Kitab Kejadian dengan luar biasa baik. Saya yakin ia telah mengeksegesis teks-teks Alkitab dengan tepat, menggunakan sumber-sumber sekunder dengan bijaksana dalam risetnya, dan memperjelas tempat sangat terhormat yang diberikan Alkitab kepada Ismael (yang merupakan sasaran pokoknya). Saya yakin bahwa ia bukan bereisegesis, tetapi sebaliknya ia membuat kesimpulan-kesimpulannya termancar dari teks.”  
—Penilaian disertasi Ph.D Sujono yang mula-mula oleh 
Dr. Victor P. Hamilton, pakar Kitab Kejadian.
Mengenal janji Tuhan bagi Abraham sangatlah penting untuk mengenal hati Tuhan itu sendiri. Penulis buku Janji-janji bagi Ismael dalam Alkitab ini telah melakukan pendekatan yang sangat menarik untuk memahami janji Tuhan bagi Abraham, khususnya tentang Ismael, anaknya. Ia membawa kita untuk melihat janji ini lebih luas dari yang dipahami oleh kebanyakan orang. Buku ini akan menolong kita untuk dapat hidup dengan hati Tuhan di tengah-tengah bangsa kita.
Dr. Bambang Widjaja
Rektor STT INTI (Institut Teologi Indonesia)

Sudah terlalu lama stereotip negatif umat Kristen terhadap Ismael merintangi perjumpaan yang bermakna dengan umat Muslim.  Edwin Sujono telah meninjau kembali batu sandungan ini dan malah mendapatinya sebagai dasar yang menjembatani kedua umat untuk menjawab doa Abraham, “Ah, sekiranya Ismael diperkenankan hidup di hadapan-Mu!”
Dr. J. Dudley Woodberry,
Dekan emeritus dan Professor senior bidang keislaman, School of Intercultural Studies, Fuller Theological Seminary, Pasadena, California.

Senin, 07 Februari 2011

365 Renungan dari Dunia Musik





(18 x 24,5) cm; 388 hlm; Supernova 65 gr; 2010
ISBN: 978-602-97520-0-7
Rp 100.000,00

Sebuah buku renungan harian yang ditulis dalam bahasa yang mudah dipahami dengan mengambil pengalaman hidup para musisi besar, terutama dalam hal kegigihan dan semangat kerja yang luar biasa untuk meraih tujuan hidupnya. Penulis buku ini, Patrick dan Barbara Kavanaugh, telah secara cermat mengaitkan dan mengulas setiap topik bacaan dengan kisah kehidupan para musisi dunia. Buku 365 Renungan dari Dunia Musik ini merupakan sebuah rangkaian renungan harian sepanjang tahun yang baik, bukan hanya bagi para musisi, namun juga mereka yang suka menikmati musik.
Agastya Rama Listya
(Musikus dan staf pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan
Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga)



Buku 365 Renungan dari Dunia Musik ini sangat memberkati pembaca. Dari kumpulan renungan tersebut terlihat bahwa ketika manusia rajin menggarap bakat-bakat yang telah Tuhan karuniakan, maka mereka menjadi semakin efektif dipakai Tuhan untuk melayani-Nya dan memberkati sesamanya, seperti para seniman musik yang telah menghasilkan karya-karya yang luar biasa, sehingga karya-karya tersebut dinikmati dan dikenang sepanjang masa.


Catharina W. Leimena
(Penyanyi Opera dan Pedagogis Vokal;
Pimpinan Sekolah Musik Gita Svara)




Buku 365 Renungan dari Dunia Musik ini ditulis dengan baik, lincah, dan kreatif, lengkap dengan kutipan Firman Tuhan. Penulis mengumpulkan berbagai data serta pengalamannya dari dunia musik, yang dapat membangkitkan kobaran api di dalam hati untuk lebih giat lagi melayani Tuhan melalui musik surgawi. Buku renungan semacam ini jarang didapat, patut dibaca oleh semua orang, khususnya anggota paduan suara, para konduktor, para pelayan musik, dan para hamba Tuhan.


Dorcas Soenarjo
(Principle Conductor dan Music Director dari Angelic Children Choir
GII Hok Im Tong Bandung; solois, Pelatih Vokal)




Luar biasa! Belum pernah saya menemukan buku renungan harian semenarik ini! Saya sangat terinspirasi dengan setiap tulisan, hari lepas hari, karena sangat berkenaan erat dengan dunia saya. Saya bisa lebih dalam lagi mengenal kehidupan pribadi berbagai komponis, penyanyi, dan pemusik terkenal, terutama pengalaman pribadi mereka dengan Tuhan sebagai Pencipta Abadi. Hal itu mendorong saya untuk lebih lagi berkarya buat Tuhan. Salut dan acungan jempol saya ajukan kepada Penulis, yang dengan luar biasa mampu mengompilasi sumber data dan meramunya menjadi sangat bermakna. Saya sangat merekomendasikan buku ini bagi semua anak Tuhan, terutama yang berkecimpung di dunia musik pada umumnya, dan yang terlibat dalam dunia musik Kristiani pada khususnya—wajib, wajib, wajib… Sekali lagi wajib membacanya. Haleluya!



Erwin Badudu
(Musikus, komposer, arranger)




Salah satu kegagalan kita memperkenalkan Kristus kepada dunia adalah membungkus Kebenaran sejati dengan baju agama … renungan yang ada dalam buku ini memberi kita kreativitas yang unik untuk menjadi jembatan dalam menyampaikan Kebenaran bagi dunia yang terhilang. Penulis buku ini memakai musik sebagai jembatan yang sangat baik, karena musik adalah bahasa universal. Dan menurut saya musik adalah bahasa surga, bahasa TuhanYesus.


Franky Sihombing 
(Penyanyi, pemusik, & pencipta lagu-lagu rohani Kristiani)




Setiap kali saya mendengar musik, maka perhatian saya akan tertuju pada harmoninya, sebab itulah yang menciptakan suasana di sekitar kita. Buat saya, harmoni dalam sebuah lagu adalah berita yang dibawa oleh lagu tersebut. Harmoni adalah gaya hidup Tuhan dan lewat musik Tuhan mau kita menikmati dan menghidupi gaya hidup tersebut. Buku ini memberikan kepada saya pemahaman bagaimana Tuhan mau membangun hubungan yang harmonis dengan manusia dan bagaimana para pemusik dalam berbagai generasi telah menemukan hubungan yang harmonis dengan Tuhan sebagai realita kehidupan mereka. Tuhan telah memakai musik dan realita kehidupan mereka untuk memberikan pesan kehidupan yang harmonis bagi kita dalam realita kehidupan kita.


Jonathan Pattiasina
(Minister of The Word CIUC Melbourne, www.ciuc.org.au)




Dari buku renungan ini kita semakin melihat bahwa dunia sangat dipengaruhi dengan keberadaan musik. Bayangkan dunia ini tanpa adanya musik. Manusia bisa dipengaruhi kehidupannya lewat berbagai jenis musik. Namun, buku ini semakin menyadarkan kita bahwa Tuhan menciptakan musik sebagai salah satu alat untuk “memengaruhi” kehidupan seseorang ketika musik digunakan untuk memuji dan menyembah Tuhan dalam pengagungan. Khusus bagi kita yang memiliki talenta dalam bermusik, buku ini akan membuat kita semakin bersyukur dengan talenta bermusik kita, dan di waktu yang bersamaan kita semakin mengagungkan DIA sebagai Tuhan lewat musik-musik kita.


Jussar Badudu
(Youth Pastor dalam Jakarta Praise Community Church; True Worshippers)




Musik mempunyai pengaruh yang sangat kuat bagi setiap makhluk hidup. Musik bisa memengaruhi pikiran dan hati manusia. Melalui musik kita dapat melihat dan merasakan keagungan Allah dan kesederhanaan-Nya, kuasa-Nya dan kelembutan-Nya, misteri-Nya dan kasih-Nya, kebenaran-Nya dan anugerah-Nya. Buku ini sangat relevan bagi saya pribadi yang berprofesi sebagai pekerja seni. Dengan membacanya, saya merasa sangat diberkati. Melalui buku ini, kita bisa mengetahui sejarah musisi dunia juga kesaksian hidup mereka yang luar biasa, dan dengan menjadikannya bahan renungan kita setiap hari, kehidupan kita akan dipengaruhi oleh prinsip-prinsip Kerajaan Allah.


Lita Zen
(Artis Penyanyi; Elfa’s Singers)




Buku ini menjadi salah satu buku favorit saya! Ketika saya membaca buku ini, saya menikmati firman-Nya dengan sentuhan yang berbeda. Berbagai kisah, cerita, dan pengalaman hidup membuat saya terkagum- kagum akan Tuhan kita yang kreatif! Bukan hanya sekadar Renungan Harian, buku ini sarat dengan pesan kehidupan dan mempunyai nilai sejarah yang sangat tinggi. Mata hati saya dibukakan bahwa hidup adalah sebuah “proses” sampai kita menjadi seperti yang Tuhan inginkan. Saya disadarkan bahwa sebuah karya cipta dan juga lagu mempunyai proses, latar belakang, serta nilai kehidupan tersendiri sehingga kita semakin mengerti keindahan yang ada di dalamnya. Powerful! Buku ini dapat menjadi inspirasi bagi siapa saja yang membacanya. Membaca buku ini membuat saya lebih bergairah menjalani hidup. Bravo!



Marthin Saba
(Artis Penyanyi dan musikus; SABA)




Sangat menarik bagi saya, sebagai orang yang Tuhan tempatkan di dunia musik, untuk membaca renungan dalam buku ini hari demi hari. Di tiap renungan, pengalaman rohani para musisi terkenal membuat diri saya bisa berkaca bahwa apa yang Tuhan buat sesungguhnya sempurna bagi setiap orang, khususnya bagi para musisi. Seperti dikatakan dalam Amsal 23:18, “Karena masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang.” Semoga buku ini bisa membantu banyak musisi dan calon musisi untuk melihat kesempurnaan penataan Tuhan dalam setiap hidup manusia dan tetap berjalan dalam alunan kehendak Tuhan.



Ruth Sahanaya
(Artis Penyanyi)




Dari lembar pertamanya, buku 365 Renungan dari Dunia Musik ini menyajikan bacaan renungan harian bermutu yang kaya dengan pengetahuan musik, sejarah musik, kisah para komposer dan riwayat karya-karyanya, serta kisah-kisah dari dunia musik yang tidak diketahui oleh banyak orang, bahkan oleh orang-orang yang berkecimpung di dunia musik sekalipun. Apalagi dengan dilengkapi kamus musik di bagian belakangnya, pembaca dipermudah untuk memahami uraian yang berkaitan dengan dunia musik ini. Pilihan ayat yang tepat dan uraian yang unik sangat memperkaya kehidupan spiritual, dan memimpin pada pemahaman lebih dalam tentang kasih Tuhan kepada kita melalui perspektif berbagai peristiwa di dunia musik. Setiap hari, siapa pun yang membaca buku ini seolah sedang mengumpulkan permata berharga di dalam kehidupan.


Tommyanto Kandisaputra
(Music Director of Studio Cantorum Choir dan
President of Bandung Choral Society)


33: "Grace upon Grace" (Anugerah demi Anugerah)





(14 x 21) cm; 211 hlm; book paper 63 gr; 2010
ISBN: 978-979-15653-9-2
Rp 40.000,00


Kabar Pengantin Baru

Allah mengajar manusia melalui derita,
Ia memakai kesusahan untuk menyadarkannya.
Ayub 36:15 (BIS)

Namaku Valentina, biasa dipanggil Tina. Aku perempuan asli Indonesia, berdarah 100% Batak. Papi-ku marga Sirait dan mami-ku boru Manurung. Boru berarti anak perempuan, boru di situ maknanya sama dengan marga, yaitu nama keluarga dari garis keturunan ayah.  

Kedua orang tuaku, yang lahir dan besar di kampung, di Sumatra Utara, mulai menetap di Jakarta sejak akhir tahun 60’an. Semua anak-anak orang tuaku, termasuk aku lahir dan besar di Jakarta. Karena orang tua kami tidak terlalu mengajari kami bahasa Batak, kami hanya mengerti sedikit bahasa Batak. Logat kami bahkan cenderung Betawi, seperti kebanyakan orang Jakarta. 

Aku terus tinggal di Jakarta dan baru merasakan tinggal di daerah lain, saat aku kuliah dan menjadi anak kos di Jatinangor, di pinggir kota Bandung. Dari pertengahan tahun 1993, selama 6 tahun aku berdiam di kawasan pendidikan, yang merupakan bagian dari kecamatan Sumedang itu. Akhir tahun 1999, aku kembali ke Jakarta dan bekerja di ibukota, selama 7 tahun. 

Semenjak bulan Mei 2007, aku yang dulunya suka penasaran ingin tahu rasanya tinggal di negeri orang, akhirnya tahu rasanya hidup di negeri Paman Sam. Di Amerika Serikat, aku tinggal di daerah Brigdeport, di dekat kawasan China Town, Chicago. Kota Chicago adalah kampung halaman selebritis Oprah Winfrey dan Presiden Barack Obama. 

Pertengahan November 2008, aku menikah di usia 33 tahun, dengan pria berkebangsaan Amerika, Gary, yang juga berusia 33 tahun. Aku pun ikut dia, tinggal di suburbs, istilah untuk kota-kota yang letaknya di pinggiran kota besar, dalam hal ini Chicago. 

Mulanya kehidupan pernikahan kami lancar-lancar saja tanpa masalah berarti. Maklum, masih pengantin baru. Walau kami tidak sempat secara khusus pergi berbulan madu, menikah di peralihan musim gugur ke musim dingin, sangatlah menyenangkan. Betapa kami bersyukur memiliki teman berbagi rasa dan kehangatan, sementara salju dingin dan tebal sedang bersiap-siap untuk melabur putih daerah di mana kami tinggal.

Namun, di bulan pertama pernikahan kami, aku terkena infeksi saluran kencing, yang lantas bertambah parah sampai menjadi infeksi ginjal. Sebuah penyakit yang rasanya amat sangat menyakitkan bagiku. Semenjak itu, hidupku tidaklah sama.

Memandu Bangsa


(14 x 21) cm; 188 hlm; HVS 70 gr; 2008
ISBN: 978-979-15653-7-0
Rp 40.000,00




CATATAN DI HULU

CHANDRA SEMBIRING berdiri di depan puluhan rekannya, sesama mahasiswa Universitas Padjadjaran (Unpad) di Jatinangor, Sumedang-Jawa Barat. Suasana sudah hangat dalam ibadat raya PMK (Persekutuan Mahasiswa Kristen) Unpad di bulan Maret 2008 itu selepas bedahan buku pertama saya, Demi Allah dan Demi Indonesia (DADI). Banyak mahasiswa mulai serius merenungkan makna kenasranian dan keindonesiaan mereka. Dan Chandra, mahasiswa kedokteran merangkap anggota GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), punya sepotong kesaksian untuk rekan-rekannya dari berbagai fakultas.

“Namaku Chandra Sembiring … Aku sering bicara nasionalisme di GMKI, tapi aku tidak pernah tahu bagaimana nasionalisme menurut Al Kitab. Aku baru tahu lewat buku ini …”
Entah apa perasaan para mahasiswa sewaktu mendengar kesaksiannya, tetapi saya sendiri disusupi rasa gembira sekaligus gundah. Gembira karena Chandra sudah tahu apa kata kitab sucinya tentang nasionalisme dan sudah banyak membagikannya kepada kawan-kawannya, khususnya di GMKI Sumedang. Gundah karena bertanya-tanya: mengapa, setelah sekian lama hidup sebagai orang Nasrani Indonesia, Chandra (dan kawan-kawan) baru tahu bagaimana nasionalisme menurut Al Kitab? Apa yang salah?

Sekitar tiga bulan kemudian saya kutip kesaksian Chandra dalam sebuah retret kawan-kawan FISIP (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) Unpad dan berkomentar, “Menyedihkan. Kekristenan telah terbajak, seolah-olah hanya untuk rohaniwan, Pekabaran Injil, dan Penelaahan Alkitab saja.” Saya kutip pula arahan salah satu sesi yang dibuat panitia retret: “Firman dianggap hanya bisa dipakai untuk menyelesaikan masalah ‘rohani’ saja. Padahal Firman bisa digunakan sebagai solusi untuk masalah apa pun. Firman bisa digunakan untuk menantang zaman yang semakin bengkok dan kehilangan arah.”

Tepat sekali. Saya rasa karena dunia Nasrani Indonesia selama ini cenderung menganggap Firman “hanya bisa dipakai untuk menyelesaikan masalah ‘rohani’ saja,” maka angkatan muda Nasrani tidak pernah tahu tentang keampuhannya menyelesaikan “masalah apa pun.” Saya rasa karena dunia Nasrani Indonesia langka mengupas, menulis, dan menekankan ajaran Al Kitab tentang kebangsaan, maka Chandra dan kawan-kawan, para tunas gereja dan bangsa, tidak pernah tahu “bagaimana nasionalisme menurut Al Kitab.”

Sejatinya, tentu saja, kenasranian adalah untuk segala bidang hidup kita di bumi ini—bukan untuk kebaktian belaka!—khususnya di tengah bangsa tempat Allah menghadirkan kita sebagai garam dan terang.

***

Kenasranian yang untuk segala bidang hidup kita itu akan Anda jumpai dalam helai-helai halaman buku Memandu Bangsa ini. Sebagai sambungan buku kedua saya, Orang Nasrani, Pandu Bangsamu! (ONPB! atau Buku I), Memandu Bangsa (atau Buku II) meluaskan dan menjabarkan topik-topik Buku I dalam tautan nyata hidup kita di Indonesia. Telah saya putuskan untuk tidak meneruskan judul Buku I dalam Buku II. Memandu Bangsa rasanya lebih ringkas, padat, dan mudah diingat. (Kalau Buku I sampai turun cetak lagi, judulnya akan disesuaikan dengan Buku II ini.)

Dalam Buku I telah saya tandaskan fakta bahwa Allah adalah raja atas bangsa-bangsa (Mzm. 47:8-9). Raja Agung ini ingin agar rakyat-Nya, yakni bangsa-bangsa, mewujudkan kehendak-Nya di bumi seperti di surga. Untuk itu dibangkitkan-Nyalah ratusan, ribuan, jutaan, bahkan ratusan juta warga/rakyat/anak bangsa di tengah bangsa-bangsa sebagai pandu bangsa. Mereka ini—atau kita—harus memandu bangsa di segala bidang hidup demi kemuliaan Allah dan kebaikan sesama.

Dari situ nalar mungkin mengantar tualang angan kita lebih lanjut. Kita merenung: sekiranya hal itu benar, tentulah Al Kitab memuat asas-asas pemanduan bangsa di segala bidang hidup. Masakan Allah menetapkan manusia sebagai pandu bangsa tetapi tidak memberinya acuan-acuan untuk kegiatan memandu itu? Tergelitik oleh penasaran, saya lantas menggeladah Kitab Suci untuk membuktikan sendiri penalaran tersebut. Memang tepat! Memang demikian adanya! Dan sekarang, dengan kegirangan seorang yang menemukan banyak manikam terpendam, saya suguhkanlah hasil geladahan itu di hadapan Anda.

Jadi, dalam tujuh pasal di muka, Anda akan melihat bahwa Al Kitab menggariskan bagi kita asas-asas memandu bangsa dalam hal:

§       Menekuni pekerjaan apa pun yang dijatahkan Allah kepada kita (pasal 1);
§       Menyelaraskan perbuatan kita dengan ucapan, pendengaran, dan penglihatan kita (pasal 2);
§       Mengkaji sejarah pembentukan bangsa (pasal 3);
§       Mengolah produk khas kita (pasal 4);
§       Menangkal kecabulan (pasal 5);
§       Menanggulangi kemiskinan dengan kedermawanan (pasal 6);
§       Mengasuh dan mendidik anak, yakni tunas bangsa (pasal 7).

Perlu saya sebutkan bahwa ketujuh pasal itu utamanya saya susun untuk menandaskan ide-ide dasar Al Kitab tentang pokok bahasan yang bersangkutan. Terapan/tindak nyata memang saya cantumkan juga, tetapi kebanyakan terbatas kepada yang umum, praktis, dan mudah dikerjakan semua orang Nasrani. Terapan/tindak nyata yang lebih khusus dan/atau besar (misalnya: membentuk lembaga pengentas kemiskinan sebagai pewujud kedermawanan) dipulangkan kepada setiap pembaca menurut ketergerakan, kapasitas, dan kekreatifan masing-masing. Banyak hal, saya yakin, bisa kita bangun dan kembangkan di atas dasar-dasar Al Kitab yang dikemukakan.

Ketujuh pasal itu pun saya gubah sedemikian rupa untuk dinikmati nalar, filosofi, dan sasteranya. Sebab itu, bahasan teknis ala skripsi atau disertasi yang kejur tidak akan Anda dapatkan di sini. Saya berleluasa dan berlincah-lincah bertutur. Pasal 7 bahkan saya gubah dalam bentuk surat kepada puteri sulung saya—semacam kesaksian yang dibagikan untuk Anda pilah atau petik sendiri manfaatnya, mana yang cocok dengan diri dan keadaan Anda.

Dan, tentu saja, ketujuh pasal itu tidak memuat seluruh asas memandu bangsa yang digariskan Al Kitab. Masih ada lebih banyak lagi dalam Kitab Suci yang menanti untuk digali dan dituliskan. Anda pastinya bisa menolong memulihkan bangsa dengan turut menggali dan menuliskannya. Hati saya akan bersorak gembira melihat bala bantuan yang datang.

Memulihkan bangsa, ya, masih topik itu. Meski memandu bangsa berterap dalam keadaan bangsa yang bagaimanapun (susah atau senang, galau atau girang), ide-ide ini khususnya penting dalam masa terpuruk seperti sekarang. Ketika saya rampungkan Memandu Bangsa, bangsa kita belum juga pulih dari sakitnya. Saya mengetik naskah di tengah rintih nyeri bangsa karena kenaikan BBM menjerumuskan belasan juta rakyat lagi ke lubang kemiskinan yang sudah mengurung puluhan juta rakyat; karena kemelut listerik mengakibatkan pemadaman di mana-mana di Nusantara sehingga pemodal dalam negeri rugi uang dan pemodal luar negeri ragu datang; karena perusakan alam meluaskan kebotakan hutan di kulit bumi Indonesia; karena aparat penegak hukum dan keamanan tidak sigap mengatasi tikai, korup, dan rongrongan berbangsa; dsb, dsb.

Buku ini, seperti dua buku saya yang terdahulu, berseru kepada kaum “garam dan terang” untuk ambil peran di tengah bangsa. Paradigma-paradigma baru saya bukakan untuk mendepak paradigma lama bulukan tentang kebangsaan yang berupa kosmetik saja di lingkungan Nasrani kita: yang mencium bendera Merah Putih tanpa punya hati Merah Putih; yang bicara Allah mengasihi Indonesia tetapi berlagak keasing-asingan; yang berdoa minta Allah memulihkan Indonesia tanpa berkarya serius dan khusus bagi Indonesia. Sudahlah dengan semua itu! Bukalah buku ini, bukalah hati Anda, dan izinkanlah Allah menjadikan Anda pandu bangsa yang sejati—Nasrani sejati dan Indonesia sejati.

Nasrani—beberapa pembaca buku-buku saya yang terdahulu bertanya tentang pilihan kata itu. Mengapa bukan “Kristen”? Beberapa hal bisa saya kemukakan, tetapi sejujurnya tidak ada alasan yang terlalu mendasar. Nasrani lebih dulu dikenal. Saudara-saudara Muslim di Indonesia, kaum yang terbesar jumlahnya, mengenal kita secara umum dengan nama itu berdasarkan kitab suci mereka. Orang Maluku Kristen—“buah sulung” Allah di Nusantara—sampai hari ini masih menyebut diri mereka Sarani, dari Nasrani. Dan, karena berasal dari keluarga ABRI, dulu saya sering menghadiri perayaan Natal-bersama umat Nasrani (Katolik, Protestan, dll jadi satu). Jadi, ada nuansa sejarah dan kesatuan dalam kata Nasrani. Keunikan itulah yang hendak saya usung, walau jelas saya gunakan kata Nasrani tumpang tindih dan sefungsi dengan kata “Kristen.” (Dalam tulisan/karya lain saya juga menggunakan kata “Kristen.”)

Ada pula yang berkomentar bahwa ide-ide pandu bangsa seharusnya mencapai semua orang Indonesia, “bukan cuma orang Kristen saja.” Tentu. Saya tidak bisa tak sepakat. Ide-ide itu memang seharusnya disimak dan dijiwai anak-anak bumi Indonesia—dari suku, budaya, dan agama apa pun. Namun, berdasarkan pengalaman hidup Nasrani saya sejauh ini, saya merasa diarahkan langit (“surga” maksudnya) untuk mendahulukan menulis kepada saudara-saudara seiman, yakni mereka yang pedoman hidupnya sama dengan saya. Mereka harus celik/dicelikkan akan pandangan Allah, Tuhan mereka, tentang ini itu, khususnya kebangsaan. Mereka harus sadar/disadarkan akan keampuhan Firman, pedoman hidup mereka, dalam menyelesaikan “masalah apa pun.” Karenanya, banyak kutipan Al Kitab harus dihidangkan di depan mereka—hal yang tentunya kurang kena-mengena dengan saudara-saudara tak seiman yang pedoman hidupnya berbeda. Saudara-saudara ini, saya percaya, akan mendapat penulis-penulis lain yang ditugaskan langit untuk mengusung ide-ide serupa dalam bahasa kebersamaan yang khas. (Mungkinkah Anda salah satu “petugas” itu? Karya-karya Anda sedang ditunggu ibu pertiwi!)

***

Udara malam di Jatinangor dingin, tetapi Delina hampir tak merasakannya di kamar kosnya. Bukan karena ada mesin penghangat ruangan di situ, tetapi karena hatinya membara oleh buku yang sedang dibacanya, Orang Nasrani, Pandu Bangsamu! “Karena saya biasanya meluangkan waktu untuk membaca [ONPB!] pada malam hari, jadi pada saat itulah terbakar semangat patriotisme Indonesia saya,” tulisnya kepada saya.

Delina, pemudi Tionghoa asal Indramayu, sudah lama punya hati bagi bangsanya. Ia biasa “menyisipkan sedikit doa bagi bangsa Indonesia di setiap saat teduh pagi.” Di Jatinangor, ia pun menjadi Koordinator Senat (Badan Eksekutif Mahasiswa) fakultasnya di Unpad. Namun, lewat ONPB!, dan juga DADI, ia “baru menyadari dan memaknai [patriotisme]; … lebih bergairah untuk melakukan pekerjaan baik [rujukan kepada Ef. 2:10] demi Allah dan Indonesia” dan “lebih sungguh-sungguh berdoa.”

Seperti Chandra si pemuda Karo, Delina pun baru celik dan sadar tentang ide-ide kebangsaan menurut Al Kitab, meski telah sekian lama hidup sebagai orang Nasrani Indonesia. Dan kalau Chandra, sebagai warga GMKI, terilhami untuk membagikan ide-ide itu kepada kawan-kawannya, maka Delina, sebagai Koordinator Senat, terilhami untuk menggagas seminar pelatihan karya tulis ilmiah yang bertemakan patriotisme. Ketika Catatan di Hulu ini saya susun, ia tengah mengusahakannya. Tulisnya: “Tetap berdoa dan berusaha agar seminar ini sukses diadakan di kampus tercinta saya biar seluruh masyarakat kampus saya juga menjunjung tinggi nilai-nilai bangsa Indonesia.”

Saya kira Allah, yang membuat anak-anak bangsa terlahir di tengah bangsa sebagai pandu bangsa, tersenyum menengok kiprah mereka. Membagikan ide-ide kebangsaan dan menggagas seminar pelatihan karya tulis ilmiah yang bertemakan patriotisme mungkin kecil saja di mata beberapa orang, tetapi keduanya pastilah memandu bangsa, pastilah modal memajukan bangsa. Bukankah kepanduan, seperti saya tulis dalam Buku I, adalah ide tentang anak bangsa yang harus berkiprah di tengah bangsanya dengan apa yang ada padanya? (Saya ingat acara parodi Republik Mimpi beberapa waktu lalu punya lagu tema yang liriknya senada: “Ayo kita semua bangun dari mimpi, berbuat segera sekecil apa pun.”) Mulai pasal 1 buku ini Anda akan lebih lagi menyelami ide tersebut.

Bagaimanapun, saya yakin, mata yang celik dan hati yang sadar akan fitrah bangsa adalah obat utama bagi permasalahan bangsa. Dan bagi saya, betapa ajaibnya Allah, Tuhan kita, karena mencetus pencelikan dan penyadaran ini di antara kita dengan ide-ide yang sudah sejak purbakala termaktub dalam Kitab-Nya. Buku tua itu melakukan lagi kebajikan yang sudah dilakukannya kepada banyak bangsa selama berabad-abad! Karenanya, di hulu sini saya berdoa: semoga ide-ide Al Kitabiah dalam helai-helai halaman di muka mencelikkan dan menyadarkan lebih banyak lagi anak bangsa. Semoga berduyun-duyun anak bangsa yang “sama berapi” menyumbangkan nyalanya di tengah rundungan gelap atas bangsa. Dan, apa pun kebaikan yang dihasilkannya, semoga segala kemuliaan semata-mata berpulang kepada Allah di dalam Yesus Kristus, Firman yang telah menjadi manusia. Selamat menyimak!

Orang Nasrani, Pandu Bangsamu!


(14 x 21) cm; 179 hlm; HVS 70 gr; 2007
ISBN: 978-979-15653-4-9
Rp 35.000,00



CATATAN DI HULU

BANYAK ORANG NASRANI INDONESIA peduli kepada bangsanya. Ini terbukti dari doa yang tak putus-putus bagi bangsa dan negara dalam segala kebaktian gereja atau ibadat khusus atau ibadat pribadi. Gaya doa itu pun macam-macam. Ada yang berdoa dengan bersajak, dengan bergumam, dengan berurai air mata, atau bahkan dengan meraung-raung. Bagaimanapun, semua paham bahwa Tuhanlah harapan bagi bangsa ini, yang tak kunjung bangkit sejak terpuruk pada tahun 1997. Pada intinya, kita mengasihi bangsa kita dan ingin melihat sentuhan Allah memulihkannya, secara jasmani dan rohani.

Buku Orang Nasrani, Pandu Bangsamu! (I) saya persembahkan untuk mendukung segala doa yang sudah kita kerahkan. Judulnya berupa seruan/suruhan karena saya merasa bahwa memandu bangsa adalah tindak nyata yang harus kita tekankan dan terapkan lebih serius lagi di tengah segala arus doa kita. Itu akan memenuhi rumusan “berdoa dan bekerja” sekaligus jadi penjabaran lagu agung yang masih kita nyanyikan bersama seluruh rakyat Indonesia: “Di sanalah aku berdiri jadi pandu ibuku.” Demikianlah buku ini, dan juga jilid duanya yang insya Allah akan menyusul kemudian, mengemukakan konsep dan petunjuk untuk berbuat sesuatu sebagai timbalan doa. Siapa nyana, Al Kitab ternyata memuat gagasan-gagasan besar tentang memandu bangsa sebagai perwujudan “kewargaan surga” dalam “kewargaan bumi.”

Dalam buku ini akan Anda jumpai enam pasal yang sebenarnya pecahan dari tiga pasal induk yang panjang. Justeru karena panjang, saya belah dua pasal-pasal induk itu. Seperti buku yang terdahulu, buku ini pun saya susun dengan konsep “album musik.” Anda tahu bagaimana album musik. Di bawah satu judul kita biasa temukan sekitar sepuluh lagu yang “otonom.” Tema tiap-tiap lagu bisa beragam, begitu pula gubahan musiknya. Nah, hampir seperti itulah buku ini: tiap-tiap pasal induk berdiri sendiri, punya tema dan gubahan yang khas, namun tetap terajut oleh satu benang merah: kewajiban orang Nasrani memandu bangsanya. Hal-hal yang ditekankan setiap pasal induk adalah yang saya, selaku penulis, pandang penting, mendasar, dan mudah dikaji/diterapkan oleh kaum Nasrani Indonesia secara umum untuk memandu bangsa. Ini sisi subjektif dalam penulisan. Lain penulis boleh jadi menuliskan lain hal untuk tujuan yang sama.

Gagasan tiap-tiap pasal induk tulen dari otak Indonesia ini dan agaknya belum pernah ada yang menuliskan, khususnya dalam tautan Indonesia. Sejujurnya, gagasan tiap-tiap pasal induk tersebut bisa dikembangkan jadi satu buku tersendiri, namun saya memilih untuk membatasi pengembangannya dan menderetkannya saja di satu buku. Maksudnya supaya berbagai gagasan segar dapat cepat disiarkan dan ditanggapi secara sehat demi Allah dan demi Indonesia. Pikiran praktis saja! Saya bersyukur sekali kalau ada pemikir-pemikir/pendekar-pendekar pena lain yang mau mengembangkan gagasan/konsep dalam buku ini. Bahu-membahu macam itulah yang dibutuhkan bangsa kita saat ini.
Untuk memudahkan pembaca, baiklah saya garisbesarkan isi buku. Dalam enam pasal kita akan membahas:

§ Pasal satu dan dua: Pendaratan kenasranian/”kewargaan surga” kita dalam keindonesiaan/”kewargaan bumi” kita; pernyataan umum dan khusus Allah tentang memandu bangsa; kebenaran dan dosa sebagai patokan bagi kemajuan dan kemunduran bangsa; nilai-nilai kepanduan yang harus diterapkan Gereja Indonesia, berikut rintangannya.
§      Pasal tiga dan empat: Peran Allah dalam memandu kehidupan setiap bangsa di segala zaman; daulat dan kasih Allah atas bangsa-bangsa; tuntunan Allah tidak terbatas kepada bangsa Israel saja, tetapi kepada semua bangsa juga, termasuk bangsa kita; Allah telah dan tetap memandu bangsa Indonesia, sehingga kita pun harus memandu bangsa kita.
§    Pasal lima dan enam: Gagasan yang dituliskan adalah satu sarana ampuh untuk memandu bangsa; Al Kitab sebagai gagasan Allah yang dituliskan dan dampaknya kepada kehidupan manusia; bangsa Barat sebagai teladan kegiatan tulis-menulis dan dampak baik/buruk tulisan mereka bagi dunia; belum swasembadanya dunia pustaka Nasrani Indonesia dan akibatnya bagi Gereja Indonesia; kendala dan kerugian tidak menulis serta jalan untuk mengatasinya.

Cukup banyak “daging” dalam satu buku! Dan seperti Anda maklumi, buku apa pun pasti mengungkapkan keyakinan penulisnya, tak terkecuali buku ini. Jadi, saya telah menyusunnya dengan keyakinan-keyakinan berikut: bahwa Al Kitab adalah benar dan seharusnya mendarat pada tautan hidup kita, dalam hal ini keindonesiaan kita, bukan melayang-layang saja di atasnya; bahwa Al Kitab terbuka bagi semua orang beriman dan seharusnya dikaji oleh setiap orang beriman hanya dengan syarat: akal sehat, itikad murni, dan tuntunan Roh Kudus; bahwa semua ilmu bersumber pada Allah dan seharusnya dipakai untuk memperkaya bahasan-bahasan Al Kitabiah; bahwa bangsa Indonesia masih terpuruk dan kaum Nasrani sebagai salah satu komponen bangsa seharusnya memandunya keluar dari lembah bayang-bayang maut; bahwa kepanduan bangsa adalah hal yang am dan semua anak bangsa seharusnya melakukannya; bahwa pandu-pandu Indonesia harus mengasihi dan mengidentikkan diri dengan bangsanya kalau mau memandunya secara efektif; bahwa Allah masih bicara kepada orang di zaman ini pun, lewat media apa pun, sehingga saya harap dari buku ini Anda bisa mendengar bisikan-Nya bagi Anda secara pribadi—bisikan untuk memandu bangsa Anda demi kemuliaan Allah. Cukup banyak keyakinan dalam satu alinea!

Tanpa niat berpanjang-panjang lagi, saya persilakan Anda beranjak ke halaman pertama. Saat mengantar Anda sekarang ini saya teringat perkataan seorang rekan mahasiswi baru-baru ini: “Sepertinya percuma berdoa untuk bangsa dan negara, tidak ada perubahan.” Saya bertanya-tanya, mungkinkah begitu juga yang Anda rasakan sebagai pejuang-pejuang doa? Jika demikian, Anda sedang memegang buku yang tepat untuk menanggulangi rasa kecewa itu. Apabila gagasan-gagasan buku ini kita telaah dan jabarkan bersama-sama, niscaya doa tidak akan percuma lagi. 

Akhir kata, selamat menyelami dan menikmati; selamat berdoa dan bekerja sebagai “pandu ibu.”

Berkenalan dengan Asketisme


14 x 21) cm; 175 hlm; HVS 70 gr; 2007
ISBN: 978-979-15653-5-6
Rp 40.000,00




Asketisme bukanlah khas kekristenan, karena ide ini pertama sekali dipakai di dalam filsafat Stoa.  T.C. Hall menguraikan bahwa di hampir semua agama dan kebudayaan terdapat ide dan praksis asketis. Meskipun asketisme bukan khas kekristenan, asketisme Kristen bukanlah pengembangan dari asketisme non-Kristen. Asketisme Kristen merupakan dorongan hati orang-orang Kristen yang terinspirasi oleh perilaku dan ajaran-ajaran Kristus yang terdapat di dalam kitab suci. Meskipun terdapat pengaruh asketisme non-Kristen terhadap asketisme Kristen terutama di Timur, hal itu tidak menjadi representasi asketisme Kristen.

Asketisme ialah suatu keyakinan bahwa iman Kristen harus diejawantahkan dengan cara penyangkalan diri, pengabdian, dan pengorbanan sebagai tanda kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama manusia. Ini berarti bahwa semangat tersebut dapat mengambil berbagai bentuk yang sesuai dengan ruang, waktu, dan kondisi. 

Dalam buku ini diketengahkan berbagai tokoh asketis mulai dari zaman gereja mula-mula abad pertengahan, hingga masa kini, dari berbagai belahan dunia termasuk negeri kita, Indonesia.

Demi Allah dan Demi Indonesia


(14 x 21) cm; 229 hlm; HVS 70 gr; 2006
ISBN: 979-15653-0-9
Rp 36.000,00



SEKAPUR SIRIH

“SETIAP ORANG LEBIH DAHULU menjadi bangsanya, baru menjadi orang Nasrani. Anda lebih dahulu menjadi orang Indonesia, baru menjadi orang Nasrani. Karena itu Anda harus menghargai keindonesiaan Anda.” Tampaknya ucapan saya di depan satu kelas pelatihan penulisan itu berterima di hati seluruh hadirin. Semua berdiam diri (tanda penerimaan saya kira). Semua—kecuali satu. Seorang saudari mengacungkan tangan tanda keberatan. Ia mempertanyakan maksud ucapan saya. (Saya lantas curiga apakah acungan tangannya hanya mewakili perasaannya sendiri atau perasaan peserta lain juga yang “berdiam diri” saja). Ia rupanya tersentak mendengar jati diri bangsa ditekankan secara demikian. Bangsa disinggung-singgungkan dengan akidah? Bisakah? Pantaskah? Rupa-rupanya muncul rasa kurang nyaman ketika keindonesiaan disandingkan dengan kenasranian.
Sebab itu, saya lekas-lekas menjelaskan maksud saya.

***
Kalau Anda merasakan hal yang sama ketika membaca ucapan di atas, saya kira buku ini akan cocok untuk Anda. Di bawah satu judul “Demi Allah dan Demi Indonesia” terkemas lima buah tulisan. Satu dengan yang lain tidak sinambung karena sejak awal memang sengaja dibuat supaya bisa dibaca sendiri-sendiri. Meskipun begitu, satu benang merah merangkai semuanya: ihwal kenasranian dan kebangsaan yang bertaut erat. Melalui rangkaian tulisan ini saya coba ungkapkan bahwa kenasranian mengajarkan hal-hal luhur tentang kebangsaan, dan ajarannya itu berpusat pada hukum ilahi: segala sesuatu adalah dari, oleh, dan untuk Allah. Ketika kebangsaan kita taruh dalam kerangka hukum ini, tersimpullah ide tentang penerimaan, penghargaan, dan kasih akan kebangsaan itu sebagai karunia Allah yang khusus. Saya coba tekankan bahwa ide ini seharusnya menjiwai kiprah Gereja Indonesia (“gereja” dengan pengertian tubuh gaib Yesus) dalam melakukan pekerjaan baik di tengah bangsanya agar bangsa bisa “melihatnya dan memuliakan Bapa kita yang di surga.” Selanjutnya saya coba daratkan ide tersebut pada pengalaman hidup kita hari ini di lingkup bangsa.

Saya memandang ide itu penting sekali, terlebih pada masa sekarang. Lewat pertengahan tahun 2006 saja, ketika pengantar ini saya susun, bangsa kita sudah kian remuk diamuk segala prahara. Sejak terpeleset di sotoh perekonomian tahun 1998, kita jatuh lalu tertimpa tangga pula. Kemiskinan dan penyakit masyarakat meroyak. Kekorupan dan kerusakan berbagai sistem (politik, hukum, pendidikan, pemerintahan, dst) meradang. Seakan-akan semua itu masih kurang, wabah dan bencana alam pun berduyun-duyun melanda. Busung lapar, flu burung, geliat gempa, gelegak gunung api, muntahan lumpur, sekapan asap kebakaran hutan—semua jadi cemeti penyesah ibu pertiwi. Aceh, Jawa, Papua—boleh dibilang mewakili bagian barat, tengah, dan timur Indonesia—porak-poranda diguncang amarah lempeng bumi. Di depan segala kehancuran itu saya dengar seorang pendeta merintihkan doa dengan menyitir Kitab Yesaya: “Tuhan, di mana lagi kami harus dipukul? Dari telapak kaki sampai kepala sudah berbilur dan luka.”

Rintihan sang pendeta seyogyanya melukiskan perasaan Gereja Indonesia. Tak bisa diingkari, Gereja dihadirkan Allah di tengah bangsanya sebagai garam pembubuh rasa dan penahan kebusukan serta terang pemancar cahaya dan penangkal kegelapan. Sayangnya, Gereja seringkali bersikap tak acuh terhadap persoalan bangsa sambil terlena oleh tafsiran bengkok tentang kewarganegaraan di surga. Sebagian warga Gereja yang peduli berupaya mengobati “bilur dan luka” bangsa dengan mendengungkan perubahan secara ilahi (“transformasi”)—sederap dengan pembaharuan segala sistem (“reformasi”) yang digaungkan kalangan terpelajar bangsa. Namun, perubahan ilahi belum juga terwujud, sungguhpun beberapa “nabi/nabiah” dari luar/dalam negeri berani menubuatkan 2005 sebagai tahun “pemulihan” Indonesia. Fajar pertama Januari 2006 menerbangkan segala ramalan sekam mereka. Di pihak lain, pembaharuan sistem pun masih terus kandas di gosong-gosong tata cara lama yang sudah mendarah daging. Apa yang salah? Apakah Allah tidak merestui niat dan hasrat baik kita? Ketika terusik oleh pertanyaan-pertanyaan itu, saya mencoba menyelisik Firman dengan cermat. Setelah melakukannya, saya dapati gagasan-gagasan yang membuat saya sendiri tertegun. Lebih tinggi daripada sekadar berdoa dan bernyanyi mengimani Tuhan akan memulihkan bangsa, saya mendapati bahwa kita harus punya nyala cita/rasa kebangsaan sejati yang menggerakkan kita untuk bekerja/berkarya bagi bangsa di segala lapangan. Lebih dasar daripada sekadar bertobat dari dosa-dosa bangsa dan pribadi, saya mendapati bahwa kita harus bertobat kepada konsep hakiki Al Kitab tentang hidup dan hidup berbangsa. Ringkasnya, kita tidak bisa berharap Allah akan membaharui dan mengubah bangsa jika kita tidak sungguh-sungguh menuruti isyarat Firman-Nya dalam menyikapi kebangsaan kita.

Gagasan-gagasan itu saya muat ke atas punggung rangkaian tulisan ini. Saya ingin membagikannya kepada sesama orang Nasrani Indonesia atau siapa saja yang berminat mengetahui paham kebangsaan dari sudut pandang (se)orang Nasrani Indonesia. Meski menimba ilham dari Firman, bukan berarti “ember” saya sempurna menampung segala air kebenaran. Sebab itu gagasan-gagasan ini pun terbuka bagi keritik, ralat, atau pengembangan yang sehat. Gaya penulisannya adalah pilihan saya. Tidak saya pakai gaya yang begitu “ilmiah” ataupun begitu “bebas.” Ini saya maksudkan supaya banyak orang yang alergi terhadap “buku berat” tak tertahan langkahnya untuk mereguk gagasan-gagasan di sini.

Begitu pasal pertama Anda masuki, Anda akan lihat bahwa judulnya telah saya lantik jadi judul keseluruhan tulisan. Ilhamnya sendiri saya timba dari kisah Gideon dan 300 tentara pilihan Allah dalam Buku Hakim-hakim. Sewaktu pasukan “mungil” ini menerjang pasukan “raksasa” bangsa Midian, mereka berseru atas perintah Gideon: “Demi Allah dan demi Gideon!” Seruan itu menggelitik saya. Apakah Gideon menyetarakan diri dengan Allah? Apakah Gideon menyejajarkan diri dengan Allah? Tidak mungkin! Allah tidak mungkin mengaruniakan kemenangan kalau Gideon bermaksud menyabot kemuliaan-Nya. Karena itu, saya mendapati ide ini: ada hal lain di bawah Allah, dan di bawah perkenanan Allah, yang diizinkan-Nya menjadi tujuan bakti/juang kita. Jadi, jika orang Israel boleh berjuang demi Allah dan—karena Allah—demi Gideon, maka saya analogikan orang Nasrani Indonesia pun boleh berjuang demi Allah dan—karena Allah—demi Indonesia.

***
Saya lekas-lekas menjelaskan bahwa setiap orang di bumi ini pasti dilahirkan terlebih dahulu sebagai warga bangsanya. Setelah itu, lewat pertobatan dan iman kepada Yesus, barulah ia dilahirkan sebagai warga kerajaan surga. Kita semua tahu bahwa tidak pernah ada orang yang jadi anak Allah sejak lahir. Kelahiran seseorang sebagai warga kerajaan surga—“anak Allah”—terjadi oleh Allah, karena dikatakan bahwa ia “diperanakkan bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah” (Yoh 1:13). Di lain pihak, kelahiran seseorang sebagai warga bangsanya—“anak bangsa”—terjadi oleh Allah juga, karena dikatakan: “Dari satu orang saja Ia telah menjadikan semua bangsa dan umat manusia untuk mendiami seluruh muka bumi” (Kis 17:26). Jati diri anak Allah dan anak bangsa itu tetap bertahan sampai kekekalan, karena masih dikatakan pula: “Segala bangsa yang Kaujadikan akan datang sujud menyembah di hadapan-Mu, ya Tuhan, dan akan memuliakan nama-Mu” (Mzm 86:9; lihat juga Why 15:4).
Kenyataan-kenyataan ini cukup untuk mencegah kita bergidik ketika kenasranian disandingkan dengan keindonesiaan. Keduanya memang harus terjalin mesra. Di muka, Anda akan menelaah lebih banyak lagi. Namun sejak di sini, biarlah pemeo kita berbunyi: