Jadi, di sinilah dia sekarang, di gurun pasir. Hajar membuka matanya yang berpasir dan membasahi bibirnya yang kering.
Ada apakah itu di dekat sumur? Tampaknya seorang laki-laki sedang berjalan ke arahku. Apakah aku diikuti sejak tadi lalu sekarang ditemukan? Apakah itu salah satu hamba Abram yang akan menyeretku kembali dan memberiku hukuman yang layak kuterima: hukuman mati sebagai seorang hamba yang lari? Atau, apakah itu salah satu dari gembala-gembala setempat yang kejam? Kalau begitu, apa yang dapat kulakukan? Hampir pasti aku akan diperkosa, dipukuli, dan ditinggalkan mati.
Laki-laki tersebut perlahan-lahan menghampiri, memberi Hajar waktu untuk menerimanya. Tubuhnya setinggi kebanyakan orang pada umumnya, rambutnya yang tak rapi tergerai dari bawah sorbannya yang terikat longgar. Janggut yang tak lebat mengelilingi wajahnya yang berkerut dan kasar, kemungkinan akibat tahun-tahun kehidupan yang keras di gurun. Sementara laki-laki dengan jubah sederhana itu melangkah ke arahnya, Hajar menangkap kebaikan dari sorot matanya yang dalam dan cokelat. Laki-laki itu berhenti sejauh jarak yang sopan, lalu menyapanya dengan suara yang lembut serta penuh keyakinan.
“Damai bagimu,” kata orang asing itu seraya mengangkat tangan kanannya lalu memindahkannya ke dekat jantungnya, menyentuh dadanya selintas sambil menundukkan kepalanya sedikit.
“Damai bagi Anda juga, Tuan,” jawab Hajar.
“Hajar, hamba Sarai, dari manakah engkau?” tanyanya. “Dan ke mana engkau hendak pergi?”
Bagaimana ia mengenaliku? Ketika Hajar mengamati wajah laki-laki yang kasar namun awet muda itu, ia yakin bahwa ia belum pernah bertemu dengannya sebelumnya. Namun, agaknya orang itu tampak hangat dan kehadirannya menyejukkan jiwanya yang tengah bergejolak. Hajar memutuskan untuk berkata jujur.
“Aku lari dari majikanku.”
“Kembalilah pada Sarai dan tunduklah di bawah kuasanya.” Sementara orang itu terus berbicara, perlahan-lahan Hajar menyadari bahwa ia bukanlah manusia biasa; ini adalah Tuhan Abram itu sendiri. “Aku akan membuat engkau menjadi suatu bangsa yang besar. Ya, engkau sedang mengandung dan engkau akan memiliki seorang anak laki-laki. Engkau harus menamainya Ismail, karena Allah telah mendengar doa-doamu.”
Hajar bungkuk hingga ke tanah, dahinya menyentuh pasir yang panas, tangannya terbentang dalam posisi sujud di hadapan Allah. Ismail ... Allah mendengar. Hajar mulai terisak lembut. Allah benar-benar telah mendengar tangisanku!
“Aku tak ingin melihatnya mati!”
Allah mendengar. Sepasang tangan yang kasar mengguncang Hajar untuk bangun dan menariknya untuk bertumpu pada lututnya. Ia memandang pada wajah kekal yang sama yang pernah dilihatnya satu kali, 15 tahun yang lalu. Suara yang sama menghiburnya kembali di tengah-tengah penderitaannya.
“Hajar, ada apa? Jangan takut!” Suara itu penuh dengan belas kasihan dan sarat dengan perasaan. “Allah mendengar tangisan anak itu. Pergilah dan tuntunlah dia, sebab Aku akan menjadikannya sebuah bangsa yang besar.”
Dengan terseok-seok Hajar kembali ke tempat Ismail terbaring, lalu melayangkan pandangannya ke cakrawala. Apakah itu fatamorgana? Bagaimana mungkin ia tak melihatnya tadi? Ismail cukup kuat untuk mengikuti ibunya. Mereka berdua menyeret kaki mereka menuju mata air sebening kristal yang memancar kuat dari pasir, beberapa meter di depan mereka. Mereka jatuh tersungkur di air itu. Setelah memuaskan dahaga, mereka mengangkat wajah serta tangan mereka ke langit, memuji Tuhan Ibrahim, Ishak, dan Ismail. Allah mendengar tangisan mereka!