6)Akan tetapi, Petrus berkata,"Emas dan perak tidak ada padaku. Tetapi apa yang ada padaku, itulah yang akan kuberikan kepadamu. Dalam nama Isa Al-Masih, orang Nazaret itu, berjalanlah engkau!" 7)Petrus memegang tangan kanannya lalu menolongnya berdiri. Saat itu juga kaki dan mata kakinya menjadi kuat. 8)Ia melompat tinggi-tinggi, lalu berdiri dan mulai berjalan ke sana ke mari. Kemudian ia masuk ke dalam Bait Allah mengikuti Petrus dan Yahya sambil berjalan dan melompat-lompat serta memuji-muji Allah.

(Kisah Para Rasul 3: 6-8, Kitab Suci Injil terj. 1912)





Senin, 07 Februari 2011

Demi Allah dan Demi Indonesia


(14 x 21) cm; 229 hlm; HVS 70 gr; 2006
ISBN: 979-15653-0-9
Rp 36.000,00



SEKAPUR SIRIH

“SETIAP ORANG LEBIH DAHULU menjadi bangsanya, baru menjadi orang Nasrani. Anda lebih dahulu menjadi orang Indonesia, baru menjadi orang Nasrani. Karena itu Anda harus menghargai keindonesiaan Anda.” Tampaknya ucapan saya di depan satu kelas pelatihan penulisan itu berterima di hati seluruh hadirin. Semua berdiam diri (tanda penerimaan saya kira). Semua—kecuali satu. Seorang saudari mengacungkan tangan tanda keberatan. Ia mempertanyakan maksud ucapan saya. (Saya lantas curiga apakah acungan tangannya hanya mewakili perasaannya sendiri atau perasaan peserta lain juga yang “berdiam diri” saja). Ia rupanya tersentak mendengar jati diri bangsa ditekankan secara demikian. Bangsa disinggung-singgungkan dengan akidah? Bisakah? Pantaskah? Rupa-rupanya muncul rasa kurang nyaman ketika keindonesiaan disandingkan dengan kenasranian.
Sebab itu, saya lekas-lekas menjelaskan maksud saya.

***
Kalau Anda merasakan hal yang sama ketika membaca ucapan di atas, saya kira buku ini akan cocok untuk Anda. Di bawah satu judul “Demi Allah dan Demi Indonesia” terkemas lima buah tulisan. Satu dengan yang lain tidak sinambung karena sejak awal memang sengaja dibuat supaya bisa dibaca sendiri-sendiri. Meskipun begitu, satu benang merah merangkai semuanya: ihwal kenasranian dan kebangsaan yang bertaut erat. Melalui rangkaian tulisan ini saya coba ungkapkan bahwa kenasranian mengajarkan hal-hal luhur tentang kebangsaan, dan ajarannya itu berpusat pada hukum ilahi: segala sesuatu adalah dari, oleh, dan untuk Allah. Ketika kebangsaan kita taruh dalam kerangka hukum ini, tersimpullah ide tentang penerimaan, penghargaan, dan kasih akan kebangsaan itu sebagai karunia Allah yang khusus. Saya coba tekankan bahwa ide ini seharusnya menjiwai kiprah Gereja Indonesia (“gereja” dengan pengertian tubuh gaib Yesus) dalam melakukan pekerjaan baik di tengah bangsanya agar bangsa bisa “melihatnya dan memuliakan Bapa kita yang di surga.” Selanjutnya saya coba daratkan ide tersebut pada pengalaman hidup kita hari ini di lingkup bangsa.

Saya memandang ide itu penting sekali, terlebih pada masa sekarang. Lewat pertengahan tahun 2006 saja, ketika pengantar ini saya susun, bangsa kita sudah kian remuk diamuk segala prahara. Sejak terpeleset di sotoh perekonomian tahun 1998, kita jatuh lalu tertimpa tangga pula. Kemiskinan dan penyakit masyarakat meroyak. Kekorupan dan kerusakan berbagai sistem (politik, hukum, pendidikan, pemerintahan, dst) meradang. Seakan-akan semua itu masih kurang, wabah dan bencana alam pun berduyun-duyun melanda. Busung lapar, flu burung, geliat gempa, gelegak gunung api, muntahan lumpur, sekapan asap kebakaran hutan—semua jadi cemeti penyesah ibu pertiwi. Aceh, Jawa, Papua—boleh dibilang mewakili bagian barat, tengah, dan timur Indonesia—porak-poranda diguncang amarah lempeng bumi. Di depan segala kehancuran itu saya dengar seorang pendeta merintihkan doa dengan menyitir Kitab Yesaya: “Tuhan, di mana lagi kami harus dipukul? Dari telapak kaki sampai kepala sudah berbilur dan luka.”

Rintihan sang pendeta seyogyanya melukiskan perasaan Gereja Indonesia. Tak bisa diingkari, Gereja dihadirkan Allah di tengah bangsanya sebagai garam pembubuh rasa dan penahan kebusukan serta terang pemancar cahaya dan penangkal kegelapan. Sayangnya, Gereja seringkali bersikap tak acuh terhadap persoalan bangsa sambil terlena oleh tafsiran bengkok tentang kewarganegaraan di surga. Sebagian warga Gereja yang peduli berupaya mengobati “bilur dan luka” bangsa dengan mendengungkan perubahan secara ilahi (“transformasi”)—sederap dengan pembaharuan segala sistem (“reformasi”) yang digaungkan kalangan terpelajar bangsa. Namun, perubahan ilahi belum juga terwujud, sungguhpun beberapa “nabi/nabiah” dari luar/dalam negeri berani menubuatkan 2005 sebagai tahun “pemulihan” Indonesia. Fajar pertama Januari 2006 menerbangkan segala ramalan sekam mereka. Di pihak lain, pembaharuan sistem pun masih terus kandas di gosong-gosong tata cara lama yang sudah mendarah daging. Apa yang salah? Apakah Allah tidak merestui niat dan hasrat baik kita? Ketika terusik oleh pertanyaan-pertanyaan itu, saya mencoba menyelisik Firman dengan cermat. Setelah melakukannya, saya dapati gagasan-gagasan yang membuat saya sendiri tertegun. Lebih tinggi daripada sekadar berdoa dan bernyanyi mengimani Tuhan akan memulihkan bangsa, saya mendapati bahwa kita harus punya nyala cita/rasa kebangsaan sejati yang menggerakkan kita untuk bekerja/berkarya bagi bangsa di segala lapangan. Lebih dasar daripada sekadar bertobat dari dosa-dosa bangsa dan pribadi, saya mendapati bahwa kita harus bertobat kepada konsep hakiki Al Kitab tentang hidup dan hidup berbangsa. Ringkasnya, kita tidak bisa berharap Allah akan membaharui dan mengubah bangsa jika kita tidak sungguh-sungguh menuruti isyarat Firman-Nya dalam menyikapi kebangsaan kita.

Gagasan-gagasan itu saya muat ke atas punggung rangkaian tulisan ini. Saya ingin membagikannya kepada sesama orang Nasrani Indonesia atau siapa saja yang berminat mengetahui paham kebangsaan dari sudut pandang (se)orang Nasrani Indonesia. Meski menimba ilham dari Firman, bukan berarti “ember” saya sempurna menampung segala air kebenaran. Sebab itu gagasan-gagasan ini pun terbuka bagi keritik, ralat, atau pengembangan yang sehat. Gaya penulisannya adalah pilihan saya. Tidak saya pakai gaya yang begitu “ilmiah” ataupun begitu “bebas.” Ini saya maksudkan supaya banyak orang yang alergi terhadap “buku berat” tak tertahan langkahnya untuk mereguk gagasan-gagasan di sini.

Begitu pasal pertama Anda masuki, Anda akan lihat bahwa judulnya telah saya lantik jadi judul keseluruhan tulisan. Ilhamnya sendiri saya timba dari kisah Gideon dan 300 tentara pilihan Allah dalam Buku Hakim-hakim. Sewaktu pasukan “mungil” ini menerjang pasukan “raksasa” bangsa Midian, mereka berseru atas perintah Gideon: “Demi Allah dan demi Gideon!” Seruan itu menggelitik saya. Apakah Gideon menyetarakan diri dengan Allah? Apakah Gideon menyejajarkan diri dengan Allah? Tidak mungkin! Allah tidak mungkin mengaruniakan kemenangan kalau Gideon bermaksud menyabot kemuliaan-Nya. Karena itu, saya mendapati ide ini: ada hal lain di bawah Allah, dan di bawah perkenanan Allah, yang diizinkan-Nya menjadi tujuan bakti/juang kita. Jadi, jika orang Israel boleh berjuang demi Allah dan—karena Allah—demi Gideon, maka saya analogikan orang Nasrani Indonesia pun boleh berjuang demi Allah dan—karena Allah—demi Indonesia.

***
Saya lekas-lekas menjelaskan bahwa setiap orang di bumi ini pasti dilahirkan terlebih dahulu sebagai warga bangsanya. Setelah itu, lewat pertobatan dan iman kepada Yesus, barulah ia dilahirkan sebagai warga kerajaan surga. Kita semua tahu bahwa tidak pernah ada orang yang jadi anak Allah sejak lahir. Kelahiran seseorang sebagai warga kerajaan surga—“anak Allah”—terjadi oleh Allah, karena dikatakan bahwa ia “diperanakkan bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah” (Yoh 1:13). Di lain pihak, kelahiran seseorang sebagai warga bangsanya—“anak bangsa”—terjadi oleh Allah juga, karena dikatakan: “Dari satu orang saja Ia telah menjadikan semua bangsa dan umat manusia untuk mendiami seluruh muka bumi” (Kis 17:26). Jati diri anak Allah dan anak bangsa itu tetap bertahan sampai kekekalan, karena masih dikatakan pula: “Segala bangsa yang Kaujadikan akan datang sujud menyembah di hadapan-Mu, ya Tuhan, dan akan memuliakan nama-Mu” (Mzm 86:9; lihat juga Why 15:4).
Kenyataan-kenyataan ini cukup untuk mencegah kita bergidik ketika kenasranian disandingkan dengan keindonesiaan. Keduanya memang harus terjalin mesra. Di muka, Anda akan menelaah lebih banyak lagi. Namun sejak di sini, biarlah pemeo kita berbunyi:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar