6)Akan tetapi, Petrus berkata,"Emas dan perak tidak ada padaku. Tetapi apa yang ada padaku, itulah yang akan kuberikan kepadamu. Dalam nama Isa Al-Masih, orang Nazaret itu, berjalanlah engkau!" 7)Petrus memegang tangan kanannya lalu menolongnya berdiri. Saat itu juga kaki dan mata kakinya menjadi kuat. 8)Ia melompat tinggi-tinggi, lalu berdiri dan mulai berjalan ke sana ke mari. Kemudian ia masuk ke dalam Bait Allah mengikuti Petrus dan Yahya sambil berjalan dan melompat-lompat serta memuji-muji Allah.

(Kisah Para Rasul 3: 6-8, Kitab Suci Injil terj. 1912)





Kamis, 22 Desember 2011

LET'S CURHAT, MOM!


(11,5 x 18,5) cm; 167 hlm; book paper; 2011

ISBN: 978-602-98932-7-0

Rp 35.000



TERBITAN TERBATAS



Awalnya, buku ini hanya akan saya simpan sendiri dan akan saya jadikan suatu barang yang berharga dalam hidup saya. Kelak ketika umur bertambah banyak dan daya ingat  semakin menurun, tulisan-tulisan di dalamnya tentu akan mampu menolong mengingatkan kembali percakapan-percakapan yang berkesan di masa lalu dengan  puteri saya tercinta.


Namun, mendengar kesulitan banyak orang untuk berkomunikasi dengan anak serta kebingungan anak-anak yang enggan untuk “curhat” dengan orang tua mereka sendiri, mendorong saya untuk tidak menyimpan sendiri pengalaman ini melainkan membiarkan banyak orang untuk ikut menikmatinya juga.

Buku ini berisi percakapan nyata antara saya dengan puteri saya. Ringan dengan bahasa sehari-hari. Banyak tawa di dalamnya tetapi tentu saja berisi nasihat dan ajaran-ajaran yang baik serta teguran-teguran.

Kiranya buku ini dapat menolong  para orang tua untuk mulai menjalin komunikasi yang dalam dengan anak-anaknya. Tidak sulit, mulai dari hal-hal yang ringan. Dan untuk para anak, semoga buku ini juga dapat mendorong kalian untuk menjadikan orang tua sebagai teman dekat dan tempat curhat.

Saya senang jika suatu hari, setelah Anda membaca buku ini, Anda semua akhirnya memiliki buku berharga Anda sendiri yang berisi percakapan dengan anak-anak Anda.
— Lena Pasaribu


Kamis, 10 November 2011

AJARAN DUA KERAJAAN LUTHER DAN RELEVANSINYA DI INDONESIA



(15,5 x 22,5) cm; 462 hlm; HVS 70 gr; 2011
ISBN: 978-602-98932-8-7
Rp 60.000,00


Apakah hubungan gereja-negara itu berkaitan dengan kesadaran atau tidak dari gereja-gereja Lutheran di Indonesia atas pikiran Luther tentang Ajaran Dua Kerajaan Luther (ADK)? Karena Martin Luther (ML) merumuskan pikirannya tentang ADK secara kontekstual, maka di sini kita berjumpa dengan tugas teologi sebagai sebuah ilmu yang terus menerus menangani masalah secara baru untuk menghindari spekulasi “menara gading” teologi akademis yang jauh bergerak dari iman gereja pada masanya. Luther yang waktu itu bertugas sebagai dosen di Universitas Wittenberg, tidak membiarkan dirinya terkurung di dalam tembok akademis, melainkan keluar dari sana dan memberikan jawaban yang kontekstual. Maka penelitian ini akan menguji apakah ADK yang dibidani dalam menjawab masalah Eropa, dapat memberikan sumbangan dalam menjawab masalah Indonesia.

Melalui ADK ini Luther ingin mengajar orang Kristen untuk memandang kekuasaan secara teologis, tidak mencampuraduk kekuasaan teologis dengan politik; tidak menyembah kekuasaan, karena kekuasaan adalah pemberian Tuhan; memberikan batas-batas kepada pemerintah duniawi; menekankan bahwa Injil harus berdiri sendiri tanpa dukungan kekuatan politis; dan menjamin kebebasan beragama setiap pribadi.  Maka ADK juga dapat memberikan sumbangan kepada gereja-gereja di Indonesia untuk memahami bahwa kedua kekuasaan harus bekerjasama secara dewasa dalam membangun bangsa. 


Senin, 05 September 2011

MUKJIZAT TERBESARKU - Kisah Seorang Anak Hiperaktif




(14 x 21) cm; 151 hlm; book paper; 2011
ISBN: 978-602-98932-6-7
Rp 35.000


TERBITAN TERBATAS


-->
Pengalaman hidup yang menginspirasi dan mengedukasi pembaca untuk mengerti rencana Allah yang paling baik untuk hidup kita. Memang sering kita tidak mengerti awalnya, tetapi apabila kita mau peka terhadap bisikan-Nya, maka pada akhirnya buah-buah manislah yang kita peroleh.
Sungguh pengalaman seorang anak muda yang sarat akan karya Allah. Pembaca dituntun untuk ikut bersama pengarang mengarungi lorong-lorong gelap yang berakhir di padang rumput Tuhan yang hijau. 
Elly Anawati
Guru, konselor
__________________________________________________________________________________

Membaca bab demi bab buku ini, air mata saya sulit dibendung. Sebagai seorang ibu, saya sangat bisa merasakan betapa beratnya kejadian yang dialami Matius, dan ini sangat menyentuh bahkan menggetarkan hati saya. Ditulis dengan bahasa sederhana, buku ini menyajikan nilai yang dalam dari perjalanan hidup seorang anak yang tertolak pada masa kecilnya dan kacau pada masa remajanya. Namun, Tuhan bekerja secara dahsyat dalam hidupnya. Keterbatasan akibat apa yang dialaminya tidak membuatnya lemah, tetapi justru menjadi momentum penyerahan dirinya secara total kepada Tuhan, dan ini adalah penyerahan tertinggi kepada Tuhan serta kehendak-Nya, yang membawanya mengalami mukjizat terindah, yaitu perjumpaan secara pribadi dengan Yesus Kristus.
                            
Pdp. Esther Partalaksana
Ketua “New Wine Women Ministries”
__________________________________________________________________________________

Sangat menginspirasi dan mentransformasi. Kiranya pembaca dapat mengalami Tuhan, dan belajar untuk “Tidak memperhitungkan yang hilang, namun menggunakan apa yang masih ada dan melakukan yang terbaik melaluinya”.

Pastor George Ferry
(Founder “Penuai Ministry” & Gembala Senior “Oicumene Sunday Service”, Jakarta)
__________________________________________________________________________________

Suatu pengakuan yang jujur dan tulus, serta pertobatan dan penyerahan diri total kepada Tuhan Yesus.
Pdt. Darius
__________________________________________________________________________________

Buku ini adalah sebuah ungkapan hati yang jujur dan terbuka, sebuah hadiah bagi generasi muda untuk mengenal Kristus. Saya terkagum-kagum membaca lembar demi lembar tulisan di buku ini sampai habis, dan saya mengajak Anda untuk mengambil waktu sejenak, berdoa, dan merenungkan hidup Anda di hadapan Tuhan setelah membaca buku ini.

Andra Lukas, MA
Pastor di IFGF GISI Bandung


Minggu, 29 Mei 2011

DUA UMAT DAN YESUS




(14 x 21) cm; 203 hlm; HVS 70 gr; 2011
ISBN: 978-602-97520-1-4
Cetakan ke-2
Rp 45.000


Seorang Syeikh Muslim Irak dan Yesus
Di bulan Mei 2001, saya takjub bagaimana Allah menempatkan saya di tengah para petinggi Irak pada suatu konferensi dialog Muslim-Kristen di Baghdad, yang diprakarsai oleh Saddam Hussein. Di sanalah saya. Sebelumnya, kami mengadakan tur keliling negeri dari utara ke selatan, melihat Babel kuno dan Kota Niniwe yang berumur empat ribu tahun, tempat Yunus pernah berkhotbah, dan bertemu dengan orang-orang Irak yang baik. Selama konferensi, para uskup Kasdim dan Syria, para penatua, dan sebagainya berbicara tentang sejarah gereja mereka yang telah berumur dua ribu tahun. Namun, pada acara penutupan di Saddam Hussein Hall, satu-satunya pembicara non-Kristen hari itu—pemimpin Muslim Syi’ah di Irak—adalah orang yang paling bergairah bicara mengenai Yesus. Luar biasa. 

Ia berbicara langsung dari Yohanes pasal delapan, tentang Yesus dan perempuan yang kedapatan berbuat zinah. Dua ribu orang duduk terperangah, bukan karena melihat seorang Muslim berbicara tentang Yesus—itu biasa terjadi—namun karena ia berbicara dengan penuh otoritas, sepertinya ia tahu lebih banyak tentang Yesus daripada perkataannya hari itu. Caranya membaca ayat-ayat Alkitab dengan bebas, juga sedikit ganjil. Setelah selesai bicara, ia menuruni podium dan melangkah keluar lewat pintu belakang bersama rombongannya. 

Tanpa tunggu lagi, saya bergegas ke belakang untuk melihat apakah saya bisa bicara sebentar dengannya. Saya menemuinya dan menyampaikan betapa saya terkesan oleh apa yang disampaikannya. Lalu, saya bertanya, apakah ia sudi datang ke Libanon dan meluangkan waktu bersama saya dan para pemimpin lainnya (sebagian besar orang Muslim), yang sama-sama mempelajari dan berbicara tentang Yesus. Matanya berbinar seraya mengatakan YA! Satu-satunya masalah adalah, tidak seorang pun bisa meninggalkan Irak tanpa izin resmi, dan ia harus memperoleh izin itu dari seorang menteri koordinator dalam pemerintahan. Ia memberikan nama orang yang saya perlu tanyai, seseorang yang mungkin juga hadir dalam konferensi itu. Ketika kami saling mengucapkan salam perpisahan, sang ustadz mengatakan, “Insyaallah (jika Allah menghendaki) saya akan menemui Anda di Beirut suatu hari nanti.” Terus terang, saya merasa naif sekali beranggapan bahwa pertemuan itu mungkin saja terjadi.

Lalu mulailah saya mencari-cari anggota kabinet yang disebutkan oleh ustadz itu. Keesokan harinya, saya melihat sang menteri di lobi hotel, dikawal ketat oleh para pengawal bersenjata. Setelah ditolak oleh dua orang pengawal, pengawal ketiga mengizinkan saya berbicara dengan bapak menteri, yang mengenakan seragam Angkatan Darat dan sarat dengan berbagai tanda kehormatan militer. 

Saya menghadap dan kata-kata pun meluncur dari bibir saya, “Hai, nama saya Carl. Saya seorang Amerika yang tinggal di Beirut dan saya datang untuk menghadiri konferensi ini. Saya mendengar kawan Anda, syeikh itu, menjadi pembicara kemarin. Beliau berbicara tentang Yesus dengan cara yang sangat karib, dan saya mengundang beliau ke Libanon, tetapi katanya beliau perlu izin dari Anda, dan sekarang saya menghadap Anda. Jadi, apakah beliau bisa pergi ke sana?”

Sang menteri tampak syok mendengar rentetan perkataan saya, tetapi ia segera memandang sekeliling dan katanya, “Mari.” Kami pergi ke balik sebuah dinding separuh. 
“Saya akan memberinya izin, dengan satu syarat.”
“Baiklah, apa itu?” tanya saya. 
“Undang saya juga.” 



LEPAS DARI BELENGGU - Kaum Muslim dan Kaum Nasrani dalam Perjalanan Menuju Kebebasan



(14 x 21) cm; 167 hlm; HVS 70 gr; 2007
ISBN: 979-15653-1-7
Rp 30.000,00



Dr. Jabbour yang terhormat, 
Kata-kata tidak dapat mengungkapkan berkah yang menyelimuti saya selama saya membaca buku Anda. Saya sungguh-sungguh merasa Roh Suci berbisik di telinga saya, “Mengertikah engkau, Fatima? Inilah yang Kumaksudkan.” Buku Anda datang tepat waktu dalam kehidupan saya untuk meyakinkan saya bahwa kita sedang menyembah Tuhan yang hidup, dan Ia tidak pernah meninggalkan kita. Saya bisa mendengar penjelasan-Nya kepada saya tentang apa yang dikatakan-Nya dalam Yeremia 40:4, “Aku melepaskan engkau hari ini dari belenggu yang ada pada tanganmu itu . . .Aku akan memperhatikan engkau.” Dia, Allah sendiri, Yang Mahakuasa, memperhatikan saya. Saya menyukai terjemahan Arab untuk frase ini, ‘aini ‘alaiki (“Mataku tertuju kepadamu.”). Ia tidak hanya menengok kepada saya. Perhatian-Nya  tertuju pada saya.

Saya ingat ketika untuk pertama kalinya seorang wanita Nasrani menolong saya mengenal Isa. Saya berkata kepadanya, “Saya mau mempelajari keempat injil bersama Anda, tetapi saya mohon, jangan Perjanjian Lama, juga jangan kitab Kisah Para Rasul, dan terutama Surat-Surat. Perjanjian Lama mengingatkan saya akan hukum-hukum yang ketat. Kitab Kisah Para Rasul tidak berarti bagi saya, dan saya tidak peduli siapa pergi ke mana dan melakukan apa. Sedangkan Surat-Surat, saya bahkan tidak ingin membacanya. Itu hanyalah surat-surat yang dibatasi oleh sejarah waktu dan ruang, dan itu tidak berlaku bagi saya.”

Wanita Nasrani itu begitu sabar terhadap saya dan ia terus menolong saya, dan Allah memakai dirinya seperti layaknya sebuah “kabel yang mengejutkan batu batere kami yang mati” — keluarga kami, yang kini semuanya mempercayai kebenaran Al-Masih.
Bulan demi bulan berlalu dan wanita yang menolong saya itu kemudian pindah ke negeri lain. Suatu malam, di samping tempat tidur saya, saya bertanya kepada-Nya, “Apakah ini mimpi? Lalu selanjutnya apa? Apa yang seharusnya saya lakukan sekarang? Mengapa Engkau membiarkan saya di tengah lautan saat saya tidak tahu bagaimana harus berenang sendirian?” 

Ia menjawab saya melalui buku Anda, katanya: “Fatima, engkau bebas sekarang ini. Bangun dan berjalanlah. Mudah saja. Ikuti AKU.” 
Saya mengaku kepada Anda bahwa sementara saya membaca buku ini saya harus meletakkan buku ini beberapa kali untuk menarik nafas. Beberapa kali saya terisak-isak. Saya menangis. Saya tertawa. Saya merasa bahwa Tuhan memeluk saya dan mengayun saya ke kiri dan ke kanan sementara kepala saya terbenam di dada-Nya. Kata-Nya, “Ya, anak-Ku. Aku sangat mengasihimu. Jangan khawatir. Engkau tidak akan pernah sendiri lagi. Aku akan selalu di sini untukmu.”

Dr. Jabbour, saya beranjak mengambil Kitab Suci saya dan mulai membaca lagi kitab Kisah Para Rasul, lalu saya menemukan suatu makna yang baru dalam kata-kata, “Itu adalah kisah-Ku selanjutnya.” Saya merasakan penderitaan murid-murid ketika mereka berjuang di antara kenyataan dan keragu-raguan. Saya merasakan kehadiran-NYA; saya bisa melihat mata-Nya yang berlinang air mata memandang saya, memeluk saya sambil berkata: “Tidak apa-apa, Fatima. Aku mengasihi engkau sebagaimana engkau ada. Engkau bukan penipu, Fatima. Engkau tetap dapat berkata alhamdulillah (“syukur  kepada Allah”) daripada puji Tuhan jika engkau mau. Engkau tetap dapat berkata bismillah alrahman alrahim (“dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Penyayang”) saat engkau hendak berangkat dengan mobil di pagi hari. Tidak apa-apa, Fatima. Engkau bukan penipu. AKU tetap sama baik kemarin, hari ini, besok, dan selamanya. Jadi, engkau tetap dapat berkata sadakallah alazim (“sesungguhnya dan dengan kebenaran Allah telah berfirman”) setelah engkau membaca Kitab Suci. Engkau tidak perlu mengganti bahasamu dengan bahasa-bahasa Nasrani. Aku mengasihi engkau, Fatima Al Makky, sebagaimana engkau ada. Jika Aku menginginkan sosok Nasrani, tentunya Aku sudah menciptakan engkau di tengah-tengah sebuah keluarga Nasrani. Tetapi Aku menginginkan ENGKAU. Jadi, tenangkanlah dirimu di lengan-Ku, ‘Nak, dan jangan menendang.” Percayakah Anda? Setelah itu saya tidur selama dua hari penuh!

Terima kasih banyak, saya merasa sangat terhormat diberi kesempatan untuk membaca apa yang telah Tuhan sampaikan kepada Anda untuk diteruskan kepada kami, orang-orang yang baru percaya, melalui Roh Suci-Nya. Sekali lagi, saya yakin 100 persen bahwa Allah akan memakai buku ini. Sekarang saya sedang bersenang-senang dalam kasih Allah. Suatu hari, Allah akan memakai saya juga menjadi kabel yang mengejutkan batere-batere lain yang sudah mati. 
Wassalam,
Fatima Al Makky, Ph.D.


Jumat, 25 Februari 2011

PEACE GENERATION Edisi Kristen dan Katolik




Suatu usaha untuk menumbuhkan generasi baru Indonesia. Generasi pendamai, generasi yang dapat hidup serasi dalam kenyataan sebagai bangsa yang kaya dengan keanekaragaman. Juga generasi yang berakhlak dan berlaku kepada sesama manusia menurut harkat dan martabatnya sebagai insan ciptaan Tuhan.

www.peace-generation.com



No. ISBN: 978-602-97520-3-8


No. ISBN: 978-602-97520-4-5


No. ISBN: 978-602-97520-5-2


No. ISBN: 978-602-97520-6-9


No. ISBN: 978-602-97520-7-6


No. ISBN: 978-602-97520-8-3


No. ISBN: 978-602-97520-9-0


No. ISBN: 978-602-98932-0-5


No. ISBN: 978-602-98932-1-2


No. ISBN: 978-602-98932-2-9


No. ISBN: 978-602-98932-3-6


No. ISBN: 978-602-98932-4-3

Ukuran: 15 x 21 cm, masing-masing jilid 12 halaman, 
berwarna, kertas Matepaper 120 gr, 2011

Harga 1 set (jilid 1 - 12), Rp 60.000




No. ISBN: 978-602-98932-5-0

Ukuran: 21 x 24 cm, 200 halaman, HVS 80 gr, 2011
Harga: Rp 48.000

Kamis, 24 Februari 2011

Janji-janji bagi Ismael dalam Alkitab





(15,5 x 22,5) cm; 229 hlm; Supernova 65 gr; 2011
ISBN: 978-602-97520-2-1
Rp 45.000





“Secara keseluruhan, saya rasa Dr. Sujono menangani kisah-kisah Hagar/Ismael dalam Kitab Kejadian dengan luar biasa baik. Saya yakin ia telah mengeksegesis teks-teks Alkitab dengan tepat, menggunakan sumber-sumber sekunder dengan bijaksana dalam risetnya, dan memperjelas tempat sangat terhormat yang diberikan Alkitab kepada Ismael (yang merupakan sasaran pokoknya). Saya yakin bahwa ia bukan bereisegesis, tetapi sebaliknya ia membuat kesimpulan-kesimpulannya termancar dari teks.”  
—Penilaian disertasi Ph.D Sujono yang mula-mula oleh 
Dr. Victor P. Hamilton, pakar Kitab Kejadian.
Mengenal janji Tuhan bagi Abraham sangatlah penting untuk mengenal hati Tuhan itu sendiri. Penulis buku Janji-janji bagi Ismael dalam Alkitab ini telah melakukan pendekatan yang sangat menarik untuk memahami janji Tuhan bagi Abraham, khususnya tentang Ismael, anaknya. Ia membawa kita untuk melihat janji ini lebih luas dari yang dipahami oleh kebanyakan orang. Buku ini akan menolong kita untuk dapat hidup dengan hati Tuhan di tengah-tengah bangsa kita.
Dr. Bambang Widjaja
Rektor STT INTI (Institut Teologi Indonesia)

Sudah terlalu lama stereotip negatif umat Kristen terhadap Ismael merintangi perjumpaan yang bermakna dengan umat Muslim.  Edwin Sujono telah meninjau kembali batu sandungan ini dan malah mendapatinya sebagai dasar yang menjembatani kedua umat untuk menjawab doa Abraham, “Ah, sekiranya Ismael diperkenankan hidup di hadapan-Mu!”
Dr. J. Dudley Woodberry,
Dekan emeritus dan Professor senior bidang keislaman, School of Intercultural Studies, Fuller Theological Seminary, Pasadena, California.

Senin, 07 Februari 2011

365 Renungan dari Dunia Musik





(18 x 24,5) cm; 388 hlm; Supernova 65 gr; 2010
ISBN: 978-602-97520-0-7
Rp 100.000,00

Sebuah buku renungan harian yang ditulis dalam bahasa yang mudah dipahami dengan mengambil pengalaman hidup para musisi besar, terutama dalam hal kegigihan dan semangat kerja yang luar biasa untuk meraih tujuan hidupnya. Penulis buku ini, Patrick dan Barbara Kavanaugh, telah secara cermat mengaitkan dan mengulas setiap topik bacaan dengan kisah kehidupan para musisi dunia. Buku 365 Renungan dari Dunia Musik ini merupakan sebuah rangkaian renungan harian sepanjang tahun yang baik, bukan hanya bagi para musisi, namun juga mereka yang suka menikmati musik.
Agastya Rama Listya
(Musikus dan staf pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan
Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga)



Buku 365 Renungan dari Dunia Musik ini sangat memberkati pembaca. Dari kumpulan renungan tersebut terlihat bahwa ketika manusia rajin menggarap bakat-bakat yang telah Tuhan karuniakan, maka mereka menjadi semakin efektif dipakai Tuhan untuk melayani-Nya dan memberkati sesamanya, seperti para seniman musik yang telah menghasilkan karya-karya yang luar biasa, sehingga karya-karya tersebut dinikmati dan dikenang sepanjang masa.


Catharina W. Leimena
(Penyanyi Opera dan Pedagogis Vokal;
Pimpinan Sekolah Musik Gita Svara)




Buku 365 Renungan dari Dunia Musik ini ditulis dengan baik, lincah, dan kreatif, lengkap dengan kutipan Firman Tuhan. Penulis mengumpulkan berbagai data serta pengalamannya dari dunia musik, yang dapat membangkitkan kobaran api di dalam hati untuk lebih giat lagi melayani Tuhan melalui musik surgawi. Buku renungan semacam ini jarang didapat, patut dibaca oleh semua orang, khususnya anggota paduan suara, para konduktor, para pelayan musik, dan para hamba Tuhan.


Dorcas Soenarjo
(Principle Conductor dan Music Director dari Angelic Children Choir
GII Hok Im Tong Bandung; solois, Pelatih Vokal)




Luar biasa! Belum pernah saya menemukan buku renungan harian semenarik ini! Saya sangat terinspirasi dengan setiap tulisan, hari lepas hari, karena sangat berkenaan erat dengan dunia saya. Saya bisa lebih dalam lagi mengenal kehidupan pribadi berbagai komponis, penyanyi, dan pemusik terkenal, terutama pengalaman pribadi mereka dengan Tuhan sebagai Pencipta Abadi. Hal itu mendorong saya untuk lebih lagi berkarya buat Tuhan. Salut dan acungan jempol saya ajukan kepada Penulis, yang dengan luar biasa mampu mengompilasi sumber data dan meramunya menjadi sangat bermakna. Saya sangat merekomendasikan buku ini bagi semua anak Tuhan, terutama yang berkecimpung di dunia musik pada umumnya, dan yang terlibat dalam dunia musik Kristiani pada khususnya—wajib, wajib, wajib… Sekali lagi wajib membacanya. Haleluya!



Erwin Badudu
(Musikus, komposer, arranger)




Salah satu kegagalan kita memperkenalkan Kristus kepada dunia adalah membungkus Kebenaran sejati dengan baju agama … renungan yang ada dalam buku ini memberi kita kreativitas yang unik untuk menjadi jembatan dalam menyampaikan Kebenaran bagi dunia yang terhilang. Penulis buku ini memakai musik sebagai jembatan yang sangat baik, karena musik adalah bahasa universal. Dan menurut saya musik adalah bahasa surga, bahasa TuhanYesus.


Franky Sihombing 
(Penyanyi, pemusik, & pencipta lagu-lagu rohani Kristiani)




Setiap kali saya mendengar musik, maka perhatian saya akan tertuju pada harmoninya, sebab itulah yang menciptakan suasana di sekitar kita. Buat saya, harmoni dalam sebuah lagu adalah berita yang dibawa oleh lagu tersebut. Harmoni adalah gaya hidup Tuhan dan lewat musik Tuhan mau kita menikmati dan menghidupi gaya hidup tersebut. Buku ini memberikan kepada saya pemahaman bagaimana Tuhan mau membangun hubungan yang harmonis dengan manusia dan bagaimana para pemusik dalam berbagai generasi telah menemukan hubungan yang harmonis dengan Tuhan sebagai realita kehidupan mereka. Tuhan telah memakai musik dan realita kehidupan mereka untuk memberikan pesan kehidupan yang harmonis bagi kita dalam realita kehidupan kita.


Jonathan Pattiasina
(Minister of The Word CIUC Melbourne, www.ciuc.org.au)




Dari buku renungan ini kita semakin melihat bahwa dunia sangat dipengaruhi dengan keberadaan musik. Bayangkan dunia ini tanpa adanya musik. Manusia bisa dipengaruhi kehidupannya lewat berbagai jenis musik. Namun, buku ini semakin menyadarkan kita bahwa Tuhan menciptakan musik sebagai salah satu alat untuk “memengaruhi” kehidupan seseorang ketika musik digunakan untuk memuji dan menyembah Tuhan dalam pengagungan. Khusus bagi kita yang memiliki talenta dalam bermusik, buku ini akan membuat kita semakin bersyukur dengan talenta bermusik kita, dan di waktu yang bersamaan kita semakin mengagungkan DIA sebagai Tuhan lewat musik-musik kita.


Jussar Badudu
(Youth Pastor dalam Jakarta Praise Community Church; True Worshippers)




Musik mempunyai pengaruh yang sangat kuat bagi setiap makhluk hidup. Musik bisa memengaruhi pikiran dan hati manusia. Melalui musik kita dapat melihat dan merasakan keagungan Allah dan kesederhanaan-Nya, kuasa-Nya dan kelembutan-Nya, misteri-Nya dan kasih-Nya, kebenaran-Nya dan anugerah-Nya. Buku ini sangat relevan bagi saya pribadi yang berprofesi sebagai pekerja seni. Dengan membacanya, saya merasa sangat diberkati. Melalui buku ini, kita bisa mengetahui sejarah musisi dunia juga kesaksian hidup mereka yang luar biasa, dan dengan menjadikannya bahan renungan kita setiap hari, kehidupan kita akan dipengaruhi oleh prinsip-prinsip Kerajaan Allah.


Lita Zen
(Artis Penyanyi; Elfa’s Singers)




Buku ini menjadi salah satu buku favorit saya! Ketika saya membaca buku ini, saya menikmati firman-Nya dengan sentuhan yang berbeda. Berbagai kisah, cerita, dan pengalaman hidup membuat saya terkagum- kagum akan Tuhan kita yang kreatif! Bukan hanya sekadar Renungan Harian, buku ini sarat dengan pesan kehidupan dan mempunyai nilai sejarah yang sangat tinggi. Mata hati saya dibukakan bahwa hidup adalah sebuah “proses” sampai kita menjadi seperti yang Tuhan inginkan. Saya disadarkan bahwa sebuah karya cipta dan juga lagu mempunyai proses, latar belakang, serta nilai kehidupan tersendiri sehingga kita semakin mengerti keindahan yang ada di dalamnya. Powerful! Buku ini dapat menjadi inspirasi bagi siapa saja yang membacanya. Membaca buku ini membuat saya lebih bergairah menjalani hidup. Bravo!



Marthin Saba
(Artis Penyanyi dan musikus; SABA)




Sangat menarik bagi saya, sebagai orang yang Tuhan tempatkan di dunia musik, untuk membaca renungan dalam buku ini hari demi hari. Di tiap renungan, pengalaman rohani para musisi terkenal membuat diri saya bisa berkaca bahwa apa yang Tuhan buat sesungguhnya sempurna bagi setiap orang, khususnya bagi para musisi. Seperti dikatakan dalam Amsal 23:18, “Karena masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang.” Semoga buku ini bisa membantu banyak musisi dan calon musisi untuk melihat kesempurnaan penataan Tuhan dalam setiap hidup manusia dan tetap berjalan dalam alunan kehendak Tuhan.



Ruth Sahanaya
(Artis Penyanyi)




Dari lembar pertamanya, buku 365 Renungan dari Dunia Musik ini menyajikan bacaan renungan harian bermutu yang kaya dengan pengetahuan musik, sejarah musik, kisah para komposer dan riwayat karya-karyanya, serta kisah-kisah dari dunia musik yang tidak diketahui oleh banyak orang, bahkan oleh orang-orang yang berkecimpung di dunia musik sekalipun. Apalagi dengan dilengkapi kamus musik di bagian belakangnya, pembaca dipermudah untuk memahami uraian yang berkaitan dengan dunia musik ini. Pilihan ayat yang tepat dan uraian yang unik sangat memperkaya kehidupan spiritual, dan memimpin pada pemahaman lebih dalam tentang kasih Tuhan kepada kita melalui perspektif berbagai peristiwa di dunia musik. Setiap hari, siapa pun yang membaca buku ini seolah sedang mengumpulkan permata berharga di dalam kehidupan.


Tommyanto Kandisaputra
(Music Director of Studio Cantorum Choir dan
President of Bandung Choral Society)


33: "Grace upon Grace" (Anugerah demi Anugerah)





(14 x 21) cm; 211 hlm; book paper 63 gr; 2010
ISBN: 978-979-15653-9-2
Rp 40.000,00


Kabar Pengantin Baru

Allah mengajar manusia melalui derita,
Ia memakai kesusahan untuk menyadarkannya.
Ayub 36:15 (BIS)

Namaku Valentina, biasa dipanggil Tina. Aku perempuan asli Indonesia, berdarah 100% Batak. Papi-ku marga Sirait dan mami-ku boru Manurung. Boru berarti anak perempuan, boru di situ maknanya sama dengan marga, yaitu nama keluarga dari garis keturunan ayah.  

Kedua orang tuaku, yang lahir dan besar di kampung, di Sumatra Utara, mulai menetap di Jakarta sejak akhir tahun 60’an. Semua anak-anak orang tuaku, termasuk aku lahir dan besar di Jakarta. Karena orang tua kami tidak terlalu mengajari kami bahasa Batak, kami hanya mengerti sedikit bahasa Batak. Logat kami bahkan cenderung Betawi, seperti kebanyakan orang Jakarta. 

Aku terus tinggal di Jakarta dan baru merasakan tinggal di daerah lain, saat aku kuliah dan menjadi anak kos di Jatinangor, di pinggir kota Bandung. Dari pertengahan tahun 1993, selama 6 tahun aku berdiam di kawasan pendidikan, yang merupakan bagian dari kecamatan Sumedang itu. Akhir tahun 1999, aku kembali ke Jakarta dan bekerja di ibukota, selama 7 tahun. 

Semenjak bulan Mei 2007, aku yang dulunya suka penasaran ingin tahu rasanya tinggal di negeri orang, akhirnya tahu rasanya hidup di negeri Paman Sam. Di Amerika Serikat, aku tinggal di daerah Brigdeport, di dekat kawasan China Town, Chicago. Kota Chicago adalah kampung halaman selebritis Oprah Winfrey dan Presiden Barack Obama. 

Pertengahan November 2008, aku menikah di usia 33 tahun, dengan pria berkebangsaan Amerika, Gary, yang juga berusia 33 tahun. Aku pun ikut dia, tinggal di suburbs, istilah untuk kota-kota yang letaknya di pinggiran kota besar, dalam hal ini Chicago. 

Mulanya kehidupan pernikahan kami lancar-lancar saja tanpa masalah berarti. Maklum, masih pengantin baru. Walau kami tidak sempat secara khusus pergi berbulan madu, menikah di peralihan musim gugur ke musim dingin, sangatlah menyenangkan. Betapa kami bersyukur memiliki teman berbagi rasa dan kehangatan, sementara salju dingin dan tebal sedang bersiap-siap untuk melabur putih daerah di mana kami tinggal.

Namun, di bulan pertama pernikahan kami, aku terkena infeksi saluran kencing, yang lantas bertambah parah sampai menjadi infeksi ginjal. Sebuah penyakit yang rasanya amat sangat menyakitkan bagiku. Semenjak itu, hidupku tidaklah sama.

Memandu Bangsa


(14 x 21) cm; 188 hlm; HVS 70 gr; 2008
ISBN: 978-979-15653-7-0
Rp 40.000,00




CATATAN DI HULU

CHANDRA SEMBIRING berdiri di depan puluhan rekannya, sesama mahasiswa Universitas Padjadjaran (Unpad) di Jatinangor, Sumedang-Jawa Barat. Suasana sudah hangat dalam ibadat raya PMK (Persekutuan Mahasiswa Kristen) Unpad di bulan Maret 2008 itu selepas bedahan buku pertama saya, Demi Allah dan Demi Indonesia (DADI). Banyak mahasiswa mulai serius merenungkan makna kenasranian dan keindonesiaan mereka. Dan Chandra, mahasiswa kedokteran merangkap anggota GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), punya sepotong kesaksian untuk rekan-rekannya dari berbagai fakultas.

“Namaku Chandra Sembiring … Aku sering bicara nasionalisme di GMKI, tapi aku tidak pernah tahu bagaimana nasionalisme menurut Al Kitab. Aku baru tahu lewat buku ini …”
Entah apa perasaan para mahasiswa sewaktu mendengar kesaksiannya, tetapi saya sendiri disusupi rasa gembira sekaligus gundah. Gembira karena Chandra sudah tahu apa kata kitab sucinya tentang nasionalisme dan sudah banyak membagikannya kepada kawan-kawannya, khususnya di GMKI Sumedang. Gundah karena bertanya-tanya: mengapa, setelah sekian lama hidup sebagai orang Nasrani Indonesia, Chandra (dan kawan-kawan) baru tahu bagaimana nasionalisme menurut Al Kitab? Apa yang salah?

Sekitar tiga bulan kemudian saya kutip kesaksian Chandra dalam sebuah retret kawan-kawan FISIP (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) Unpad dan berkomentar, “Menyedihkan. Kekristenan telah terbajak, seolah-olah hanya untuk rohaniwan, Pekabaran Injil, dan Penelaahan Alkitab saja.” Saya kutip pula arahan salah satu sesi yang dibuat panitia retret: “Firman dianggap hanya bisa dipakai untuk menyelesaikan masalah ‘rohani’ saja. Padahal Firman bisa digunakan sebagai solusi untuk masalah apa pun. Firman bisa digunakan untuk menantang zaman yang semakin bengkok dan kehilangan arah.”

Tepat sekali. Saya rasa karena dunia Nasrani Indonesia selama ini cenderung menganggap Firman “hanya bisa dipakai untuk menyelesaikan masalah ‘rohani’ saja,” maka angkatan muda Nasrani tidak pernah tahu tentang keampuhannya menyelesaikan “masalah apa pun.” Saya rasa karena dunia Nasrani Indonesia langka mengupas, menulis, dan menekankan ajaran Al Kitab tentang kebangsaan, maka Chandra dan kawan-kawan, para tunas gereja dan bangsa, tidak pernah tahu “bagaimana nasionalisme menurut Al Kitab.”

Sejatinya, tentu saja, kenasranian adalah untuk segala bidang hidup kita di bumi ini—bukan untuk kebaktian belaka!—khususnya di tengah bangsa tempat Allah menghadirkan kita sebagai garam dan terang.

***

Kenasranian yang untuk segala bidang hidup kita itu akan Anda jumpai dalam helai-helai halaman buku Memandu Bangsa ini. Sebagai sambungan buku kedua saya, Orang Nasrani, Pandu Bangsamu! (ONPB! atau Buku I), Memandu Bangsa (atau Buku II) meluaskan dan menjabarkan topik-topik Buku I dalam tautan nyata hidup kita di Indonesia. Telah saya putuskan untuk tidak meneruskan judul Buku I dalam Buku II. Memandu Bangsa rasanya lebih ringkas, padat, dan mudah diingat. (Kalau Buku I sampai turun cetak lagi, judulnya akan disesuaikan dengan Buku II ini.)

Dalam Buku I telah saya tandaskan fakta bahwa Allah adalah raja atas bangsa-bangsa (Mzm. 47:8-9). Raja Agung ini ingin agar rakyat-Nya, yakni bangsa-bangsa, mewujudkan kehendak-Nya di bumi seperti di surga. Untuk itu dibangkitkan-Nyalah ratusan, ribuan, jutaan, bahkan ratusan juta warga/rakyat/anak bangsa di tengah bangsa-bangsa sebagai pandu bangsa. Mereka ini—atau kita—harus memandu bangsa di segala bidang hidup demi kemuliaan Allah dan kebaikan sesama.

Dari situ nalar mungkin mengantar tualang angan kita lebih lanjut. Kita merenung: sekiranya hal itu benar, tentulah Al Kitab memuat asas-asas pemanduan bangsa di segala bidang hidup. Masakan Allah menetapkan manusia sebagai pandu bangsa tetapi tidak memberinya acuan-acuan untuk kegiatan memandu itu? Tergelitik oleh penasaran, saya lantas menggeladah Kitab Suci untuk membuktikan sendiri penalaran tersebut. Memang tepat! Memang demikian adanya! Dan sekarang, dengan kegirangan seorang yang menemukan banyak manikam terpendam, saya suguhkanlah hasil geladahan itu di hadapan Anda.

Jadi, dalam tujuh pasal di muka, Anda akan melihat bahwa Al Kitab menggariskan bagi kita asas-asas memandu bangsa dalam hal:

§       Menekuni pekerjaan apa pun yang dijatahkan Allah kepada kita (pasal 1);
§       Menyelaraskan perbuatan kita dengan ucapan, pendengaran, dan penglihatan kita (pasal 2);
§       Mengkaji sejarah pembentukan bangsa (pasal 3);
§       Mengolah produk khas kita (pasal 4);
§       Menangkal kecabulan (pasal 5);
§       Menanggulangi kemiskinan dengan kedermawanan (pasal 6);
§       Mengasuh dan mendidik anak, yakni tunas bangsa (pasal 7).

Perlu saya sebutkan bahwa ketujuh pasal itu utamanya saya susun untuk menandaskan ide-ide dasar Al Kitab tentang pokok bahasan yang bersangkutan. Terapan/tindak nyata memang saya cantumkan juga, tetapi kebanyakan terbatas kepada yang umum, praktis, dan mudah dikerjakan semua orang Nasrani. Terapan/tindak nyata yang lebih khusus dan/atau besar (misalnya: membentuk lembaga pengentas kemiskinan sebagai pewujud kedermawanan) dipulangkan kepada setiap pembaca menurut ketergerakan, kapasitas, dan kekreatifan masing-masing. Banyak hal, saya yakin, bisa kita bangun dan kembangkan di atas dasar-dasar Al Kitab yang dikemukakan.

Ketujuh pasal itu pun saya gubah sedemikian rupa untuk dinikmati nalar, filosofi, dan sasteranya. Sebab itu, bahasan teknis ala skripsi atau disertasi yang kejur tidak akan Anda dapatkan di sini. Saya berleluasa dan berlincah-lincah bertutur. Pasal 7 bahkan saya gubah dalam bentuk surat kepada puteri sulung saya—semacam kesaksian yang dibagikan untuk Anda pilah atau petik sendiri manfaatnya, mana yang cocok dengan diri dan keadaan Anda.

Dan, tentu saja, ketujuh pasal itu tidak memuat seluruh asas memandu bangsa yang digariskan Al Kitab. Masih ada lebih banyak lagi dalam Kitab Suci yang menanti untuk digali dan dituliskan. Anda pastinya bisa menolong memulihkan bangsa dengan turut menggali dan menuliskannya. Hati saya akan bersorak gembira melihat bala bantuan yang datang.

Memulihkan bangsa, ya, masih topik itu. Meski memandu bangsa berterap dalam keadaan bangsa yang bagaimanapun (susah atau senang, galau atau girang), ide-ide ini khususnya penting dalam masa terpuruk seperti sekarang. Ketika saya rampungkan Memandu Bangsa, bangsa kita belum juga pulih dari sakitnya. Saya mengetik naskah di tengah rintih nyeri bangsa karena kenaikan BBM menjerumuskan belasan juta rakyat lagi ke lubang kemiskinan yang sudah mengurung puluhan juta rakyat; karena kemelut listerik mengakibatkan pemadaman di mana-mana di Nusantara sehingga pemodal dalam negeri rugi uang dan pemodal luar negeri ragu datang; karena perusakan alam meluaskan kebotakan hutan di kulit bumi Indonesia; karena aparat penegak hukum dan keamanan tidak sigap mengatasi tikai, korup, dan rongrongan berbangsa; dsb, dsb.

Buku ini, seperti dua buku saya yang terdahulu, berseru kepada kaum “garam dan terang” untuk ambil peran di tengah bangsa. Paradigma-paradigma baru saya bukakan untuk mendepak paradigma lama bulukan tentang kebangsaan yang berupa kosmetik saja di lingkungan Nasrani kita: yang mencium bendera Merah Putih tanpa punya hati Merah Putih; yang bicara Allah mengasihi Indonesia tetapi berlagak keasing-asingan; yang berdoa minta Allah memulihkan Indonesia tanpa berkarya serius dan khusus bagi Indonesia. Sudahlah dengan semua itu! Bukalah buku ini, bukalah hati Anda, dan izinkanlah Allah menjadikan Anda pandu bangsa yang sejati—Nasrani sejati dan Indonesia sejati.

Nasrani—beberapa pembaca buku-buku saya yang terdahulu bertanya tentang pilihan kata itu. Mengapa bukan “Kristen”? Beberapa hal bisa saya kemukakan, tetapi sejujurnya tidak ada alasan yang terlalu mendasar. Nasrani lebih dulu dikenal. Saudara-saudara Muslim di Indonesia, kaum yang terbesar jumlahnya, mengenal kita secara umum dengan nama itu berdasarkan kitab suci mereka. Orang Maluku Kristen—“buah sulung” Allah di Nusantara—sampai hari ini masih menyebut diri mereka Sarani, dari Nasrani. Dan, karena berasal dari keluarga ABRI, dulu saya sering menghadiri perayaan Natal-bersama umat Nasrani (Katolik, Protestan, dll jadi satu). Jadi, ada nuansa sejarah dan kesatuan dalam kata Nasrani. Keunikan itulah yang hendak saya usung, walau jelas saya gunakan kata Nasrani tumpang tindih dan sefungsi dengan kata “Kristen.” (Dalam tulisan/karya lain saya juga menggunakan kata “Kristen.”)

Ada pula yang berkomentar bahwa ide-ide pandu bangsa seharusnya mencapai semua orang Indonesia, “bukan cuma orang Kristen saja.” Tentu. Saya tidak bisa tak sepakat. Ide-ide itu memang seharusnya disimak dan dijiwai anak-anak bumi Indonesia—dari suku, budaya, dan agama apa pun. Namun, berdasarkan pengalaman hidup Nasrani saya sejauh ini, saya merasa diarahkan langit (“surga” maksudnya) untuk mendahulukan menulis kepada saudara-saudara seiman, yakni mereka yang pedoman hidupnya sama dengan saya. Mereka harus celik/dicelikkan akan pandangan Allah, Tuhan mereka, tentang ini itu, khususnya kebangsaan. Mereka harus sadar/disadarkan akan keampuhan Firman, pedoman hidup mereka, dalam menyelesaikan “masalah apa pun.” Karenanya, banyak kutipan Al Kitab harus dihidangkan di depan mereka—hal yang tentunya kurang kena-mengena dengan saudara-saudara tak seiman yang pedoman hidupnya berbeda. Saudara-saudara ini, saya percaya, akan mendapat penulis-penulis lain yang ditugaskan langit untuk mengusung ide-ide serupa dalam bahasa kebersamaan yang khas. (Mungkinkah Anda salah satu “petugas” itu? Karya-karya Anda sedang ditunggu ibu pertiwi!)

***

Udara malam di Jatinangor dingin, tetapi Delina hampir tak merasakannya di kamar kosnya. Bukan karena ada mesin penghangat ruangan di situ, tetapi karena hatinya membara oleh buku yang sedang dibacanya, Orang Nasrani, Pandu Bangsamu! “Karena saya biasanya meluangkan waktu untuk membaca [ONPB!] pada malam hari, jadi pada saat itulah terbakar semangat patriotisme Indonesia saya,” tulisnya kepada saya.

Delina, pemudi Tionghoa asal Indramayu, sudah lama punya hati bagi bangsanya. Ia biasa “menyisipkan sedikit doa bagi bangsa Indonesia di setiap saat teduh pagi.” Di Jatinangor, ia pun menjadi Koordinator Senat (Badan Eksekutif Mahasiswa) fakultasnya di Unpad. Namun, lewat ONPB!, dan juga DADI, ia “baru menyadari dan memaknai [patriotisme]; … lebih bergairah untuk melakukan pekerjaan baik [rujukan kepada Ef. 2:10] demi Allah dan Indonesia” dan “lebih sungguh-sungguh berdoa.”

Seperti Chandra si pemuda Karo, Delina pun baru celik dan sadar tentang ide-ide kebangsaan menurut Al Kitab, meski telah sekian lama hidup sebagai orang Nasrani Indonesia. Dan kalau Chandra, sebagai warga GMKI, terilhami untuk membagikan ide-ide itu kepada kawan-kawannya, maka Delina, sebagai Koordinator Senat, terilhami untuk menggagas seminar pelatihan karya tulis ilmiah yang bertemakan patriotisme. Ketika Catatan di Hulu ini saya susun, ia tengah mengusahakannya. Tulisnya: “Tetap berdoa dan berusaha agar seminar ini sukses diadakan di kampus tercinta saya biar seluruh masyarakat kampus saya juga menjunjung tinggi nilai-nilai bangsa Indonesia.”

Saya kira Allah, yang membuat anak-anak bangsa terlahir di tengah bangsa sebagai pandu bangsa, tersenyum menengok kiprah mereka. Membagikan ide-ide kebangsaan dan menggagas seminar pelatihan karya tulis ilmiah yang bertemakan patriotisme mungkin kecil saja di mata beberapa orang, tetapi keduanya pastilah memandu bangsa, pastilah modal memajukan bangsa. Bukankah kepanduan, seperti saya tulis dalam Buku I, adalah ide tentang anak bangsa yang harus berkiprah di tengah bangsanya dengan apa yang ada padanya? (Saya ingat acara parodi Republik Mimpi beberapa waktu lalu punya lagu tema yang liriknya senada: “Ayo kita semua bangun dari mimpi, berbuat segera sekecil apa pun.”) Mulai pasal 1 buku ini Anda akan lebih lagi menyelami ide tersebut.

Bagaimanapun, saya yakin, mata yang celik dan hati yang sadar akan fitrah bangsa adalah obat utama bagi permasalahan bangsa. Dan bagi saya, betapa ajaibnya Allah, Tuhan kita, karena mencetus pencelikan dan penyadaran ini di antara kita dengan ide-ide yang sudah sejak purbakala termaktub dalam Kitab-Nya. Buku tua itu melakukan lagi kebajikan yang sudah dilakukannya kepada banyak bangsa selama berabad-abad! Karenanya, di hulu sini saya berdoa: semoga ide-ide Al Kitabiah dalam helai-helai halaman di muka mencelikkan dan menyadarkan lebih banyak lagi anak bangsa. Semoga berduyun-duyun anak bangsa yang “sama berapi” menyumbangkan nyalanya di tengah rundungan gelap atas bangsa. Dan, apa pun kebaikan yang dihasilkannya, semoga segala kemuliaan semata-mata berpulang kepada Allah di dalam Yesus Kristus, Firman yang telah menjadi manusia. Selamat menyimak!