6)Akan tetapi, Petrus berkata,"Emas dan perak tidak ada padaku. Tetapi apa yang ada padaku, itulah yang akan kuberikan kepadamu. Dalam nama Isa Al-Masih, orang Nazaret itu, berjalanlah engkau!" 7)Petrus memegang tangan kanannya lalu menolongnya berdiri. Saat itu juga kaki dan mata kakinya menjadi kuat. 8)Ia melompat tinggi-tinggi, lalu berdiri dan mulai berjalan ke sana ke mari. Kemudian ia masuk ke dalam Bait Allah mengikuti Petrus dan Yahya sambil berjalan dan melompat-lompat serta memuji-muji Allah.

(Kisah Para Rasul 3: 6-8, Kitab Suci Injil terj. 1912)





Sabtu, 15 Desember 2012

Diupayakan terbit: Bagaimana Orang Gipsi Laut Moken Mendapatkan BUKU Mereka


 
(14 x 21) cm; book paper 65 gr.
Bagaimana Orang Gipsi Laut Moken Mendapatkan BUKU Mereka - KISAH NAW SAY BAY, 302 hlm
ISBN: 979-602-7653-xx-x
Harga Rp -
 
TERBITAN TERBATAS
 
 
Menjangkau mereka yang belum terjangkau perlu cinta kasih dan perhatian yang besar. Tanpa dedikasi yang tinggi dalam pengorbanan tiada mungkin jadi perpanjangan tangan Allah bagi mereka yang terlupakan, apalagi bagi orang-orang yang tidak berdaya, seperti masyarakat di pulau-pulau terpencil.

Luput dari perhatian media dunia, seorang wanita lajang yang memiliki kasih Allah dan Injil-Nya, secara diam-diam melayani kaum Gipsi Laut Moken selama 33 tahun. Ia menghadapi ancaman perampok, ular kobra, kebocoran perahu di lautan luas, pembantaian, malaria otak dan penyakit-penyakit lainnya serta roh-roh jahat, namun berkat pertolongan Tuhan ia terlindung dan menjadi penyambung lidah Allah.


Kisah nyata Naw Say Bay patut menjadi perhatian kita, agar hidup kita berbuah banyak bagi keselamatan dunia, bagi kebesaran nama-Nya!

— Pdt. Dr. Caleb Tong,
Gembala Senior GII Hok Im Tong, Bandung.


Buku “Bagaimana Orang Gipsi Laut Moken  Mendapatkan Buku Mereka” merupakan kesaksian seorang wanita Asia yang membuka wawasan pembaca akan pentingnya firman Tuhan didengar dalam bahasa yang paling mengena di hati penuturnya. Proses yang tidak mudah itu, mulai dari mempelajari bahasa, menganalisis bahasa, menentukan abjad, menerjemahkan, mengajar membaca dan menulis, semua dilaluinya dengan kekuatan dari Tuhan. Kesaksian yang disampaikan bahwa Tuhan mengasihi suku-suku dan mau berbicara kepada mereka dalam bahasa mereka masing-masing dinyatakan dengan jelas dalam buku ini.
— Nitya Travis,
Yayasan Kartidaya, Indonesia.


Biografi dan autobiografi tentang misionari modern sangatlah langka, khususnya yang penuh inspirasi oleh orang Asia. Buku ini adalah salah satu di antaranya. Bagi saya, kisah hidup Naw Say Bay sangat memesona, karena ia dipanggil oleh Allah untuk menjadi seorang misionari dan juga penerjemah Alkitab bagi orang Gipsi Laut Moken.

Sebagai seorang sejarawan, saya pun gembira melihat bagaimana sejarah hidupnya yang diceritakannya kepada Angeline Koh telah menjadi sebuah buku yang enak dibaca dan penuh gambar menarik untuk menjadi berkat bagi banyak pembaca.                                                                                     
  — Dr. Ernest Chew, 
Associate Professorial Fellow University Scholars Programme, Universitas Nasional Singapura.

 

SEMUA ADALAH KARUNIANYA



(14 x 21) cm; book paper 65 gr. ; 2012
SEMUA ADALAH KARUNIANYA - Kisah Badu & Wati Situmorang, 218 hlm
ISBN: 979-602-7653-03-0
Harga Rp 50.000
TERBITAN TERBATAS


Setelah itu Pak Jerry menghubungi saya. Beliau mengajak kami bertemu berdua saja. Lalu kami mencari waktu yang pas berikut tempatnya. Agar memudahkan, saya mengusulkan pertemuan di tengah-tengah. Pak Jerry setuju kami bertemu di Hawaii, wilayah Amerika kepulauan. 

“Itu bagus. Saya setengah jalan dari Colorado Springs, kamu setengah jalan dari Indonesia,” katanya. 

Jerry White adalah seorang doktor di bidang Aeronoutics, perwira Angkatan Udara Amerika. Ia berpangkat mayor jenderal dan pernah bekerja sebagai pengendali di NASA dan sekarang masih perwira cadangan. Ia juga mengajar di Akademi Angkatan Udara Amerika. Sebagai pejabat tinggi negara, dia memiliki banyak akses yang tidak terbuka untuk umum. Beberapa kawan Indonesia pernah diajak pergi ke San Diego dan masuk ke kapal induk Angkatan Laut Amerika.

Kembali ke pertemuan kami di Hawaii. Saya tiba di bandara dan seorang Admiral Perwira Angkatan Laut, alumni Navigator, menjemput saya. Ia diutus oleh Pak Jerry menemui saya. Kami meluncur ke rumahnya dan di sana saya akan bertemu dengan Pak Jerry sebelum kami pergi ke lokasi yang akan menjadi tempat pertemuan kami, yaitu Presidential Cottage. Presidential Cottage adalah tempat peristirahatan presiden Amerika dalam keadaan perang. Biasanya ada di tengah-tengah suatu pangkalan angkatan bersenjata.  Kami dapat menginap di tengah-tengah pangkalan Marinir karena akses Pak Jerry. 

Kami makan siang dan bercakap-cakap santai di rumah Admiral tersebut. Pak Jerry telah bersiap dengan mobil sewaan dan ia akan menyetir sendiri. Setelah itu kami permisi. Mobil meluncur tenang memasuki kompleks Cottage, namun tampaknya kami hanya berputar-putar di jalan yang sama. Kemudian saya melihat Pak Jerry mulai bingung dengan arah jalan. 

“Seharusnya kita melewati landasan pesawat marinir dulu, baru ketemu cottage di ujung dekat pantai. Tetapi kenapa nggak ketemu-ketemu tempatnya, ya?” gumam Pak Jerry sendiri. 

Saya sendiri tak tahu tempat itu, tak bisa menolong. Lalu kami terus berputar dengan kecepatan mobil makin bertambah sampai akhirnya terdengarlah sirene menguing-nguing. Saya kaget. Itu mobil polisi militer. Lampu di atas mobilnya bersinar biru. Wah, bagaimana ini, batin saya. 
 
Jerry, somebody is following us,” kata saya mengingatkan sambil memeriksa lewat spion samping.
Don’t worry,” jawab Pak Jerry tenang.  

Lalu Pak Jerry menepikan mobil ke pinggir kanan. Seorang polisi militer turun dari mobilnya dan berjalan tegap mendekat ke arah kami. Pak Jerry menurunkan kaca mobil.

Sir, your identity!” kata petugas itu dengan suara tegas di sisi pintu Pak Jerry.
Pak Jerry mengeluarkan kartu identitas dari dalam sakunya. Polisi militer itu memeriksa nama yang tertera di kartu, dan dalam sekejap, orang itu meluruskan badannya kembali, memberi hormat dengan bunyi keras dari sepatu tentaranya, menunjukkan sikap sempurna. 
Lalu polisi itu berseru dengan suara keras, “What’s happening, Sir?”
We are looking for The Presidential Cottage,” jawab Pak Jerry.
Okay, Sir. Follow me, Sir.” 

Mobil polisi itu kemudian berjalan di depan kami. Tak sampai beberapa menit, kami tiba di lokasi. Malam itu kami mengobrol santai. Pak Jerry bertanya tentang keluarga dan keadaan saya. Lalu kami membicarakan hal-hal dalam pelayanan. Setelah itu kami berdoa bersama. Pada persekutuan khusus seperti ini saya merasa rileks dan tak terburu-buru. 

Setelah itu Pak Jerry berkata bahwa saya harus mengambil tanggung jawab di seluruh Asia.



PINTU-PINTU YANG TERBUKA



(14 x 21) cm; book paper 65 gr. ; 2012
PINTU-PINTU YANG TERBUKA - Sebuah Memoar, 164 hlm
ISBN: 979-602-7653-02-3
Harga Rp 35.000

TERBITAN TERBATAS 



Ketika jenazah dibawa ke masjid, sekali lagi saya pulang ke rumah. Benar saja. Tepat pukul 13.00 telepon berdering. Langsung saya berpikir pendeta gadungan itu. Saya mengangkat telepon dan sudah pasang kuda-kuda. Di seberang sana orang yang menelepon itu memperkenalkan dirinya, lalu dia bertanya nama saya dan bertanya apakah adik saya sudah menelepon saya. 

Nah, betul tho? Ini dia, pikir saya.
“Tidak ada telepon,” jawab saya dengan tegas. Belakangan saya tahu bahwa sambungan telepon di Yogyakarta tersambar petir sehingga adik saya tidak bisa menelepon saya.


Lalu pendeta  itu dengan suara lembut menanyakan lagi kapan saya libur atau cuti. Waduh, orang ini kok nanya-nanya libur segala. Memangnya mau apa dia, tanya saya dalam hati. 


“Nanti, pas Natal. Memangnya kenapa menanyakan cuti segala?” tanya saya ketus.
“Ya, saya mau bawa kamu ke rumah mama saya untuk saya perkenalkan,” jawab orang itu seenaknya.
”Anda itu belum kenal saya bahkan belum ketemu, kok mau memperkenalkan saya. Apa maksudnya sih?” tanya saya. Saya pikir dia memang benar pendeta gila.
“Yah, kalau mau dan tidak repot,” jawab suara di sana. 


Akhirnya saya kesal dengan pembicaraan yang tidak menentu itu, akhirnya saya bilang, “Sudahlah, silakan datang ke kantor saya. Anda bisa ketemu saya.”


Lalu telepon saya tutup. Dengan hati agak kesal saat itu saya langsung telepon teman saya, Damaris Napitupulu.


“Ris, sedang sibuk, tidak? Ini ada hal penting,” kata saya.
“Ada apa, Mbak Nur?”
“Gini, Ris. Ada pendeta gila yang ngelamar saya di telepon,” kata saya. Setelah itu sebenarnya saya mengharapkan Damaris menjawab ikut kesal atau marah dan menasihati saya untuk berhati-hati. Eh, jawaban yang dia berikan malah sebaliknya.
“Mbak Nur, jangan begitu. Bertemu dulu aja sebab dulu kan Mbak Nur bilang ingin suami yang jatuh dari langit?” 


Mendengar jawaban yang tak terduga itu, saya langsung diam. Saya jadi ingat doa saya dan semua yang saya bagikan kepada teman-teman waktu ulang tahun saya itu.



Tersedia buku digitalnya: