PINTU-PINTU YANG TERBUKA - Sebuah Memoar, 164 hlm
ISBN: 979-602-7653-02-3
Harga Rp 35.000
Nah, betul tho? Ini dia, pikir saya.
“Tidak ada telepon,” jawab saya dengan tegas. Belakangan saya tahu bahwa sambungan telepon di Yogyakarta tersambar petir sehingga adik saya tidak bisa menelepon saya.
Lalu pendeta itu dengan suara lembut menanyakan lagi kapan saya libur atau cuti. Waduh, orang ini kok nanya-nanya libur segala. Memangnya mau apa dia, tanya saya dalam hati.
“Nanti, pas Natal. Memangnya kenapa menanyakan cuti segala?” tanya saya ketus.
“Ya, saya mau bawa kamu ke rumah mama saya untuk saya perkenalkan,” jawab orang itu seenaknya.
”Anda itu belum kenal saya bahkan belum ketemu, kok mau memperkenalkan saya. Apa maksudnya sih?” tanya saya. Saya pikir dia memang benar pendeta gila.
“Yah, kalau mau dan tidak repot,” jawab suara di sana.
Akhirnya saya kesal dengan pembicaraan yang tidak menentu itu, akhirnya saya bilang, “Sudahlah, silakan datang ke kantor saya. Anda bisa ketemu saya.”
Lalu telepon saya tutup. Dengan hati agak kesal saat itu saya langsung telepon teman saya, Damaris Napitupulu.
“Ris, sedang sibuk, tidak? Ini ada hal penting,” kata saya.
“Ada apa, Mbak Nur?”
“Gini, Ris. Ada pendeta gila yang ngelamar saya di telepon,” kata saya. Setelah itu sebenarnya saya mengharapkan Damaris menjawab ikut kesal atau marah dan menasihati saya untuk berhati-hati. Eh, jawaban yang dia berikan malah sebaliknya.
“Mbak Nur, jangan begitu. Bertemu dulu aja sebab dulu kan Mbak Nur bilang ingin suami yang jatuh dari langit?”
Mendengar jawaban yang tak terduga itu, saya langsung diam. Saya jadi ingat doa saya dan semua yang saya bagikan kepada teman-teman waktu ulang tahun saya itu.
Tersedia buku digitalnya:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar