(14 x 21) cm; 188 hlm; HVS 70 gr; 2008
ISBN: 978-979-15653-7-0
Rp 40.000,00
CATATAN DI HULU
CHANDRA SEMBIRING berdiri di depan puluhan rekannya, sesama mahasiswa Universitas Padjadjaran (Unpad) di Jatinangor, Sumedang-Jawa Barat. Suasana sudah hangat dalam ibadat raya PMK (Persekutuan Mahasiswa Kristen) Unpad di bulan Maret 2008 itu selepas bedahan buku pertama saya, Demi Allah dan Demi Indonesia (DADI). Banyak mahasiswa mulai serius merenungkan makna kenasranian dan keindonesiaan mereka. Dan Chandra, mahasiswa kedokteran merangkap anggota GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), punya sepotong kesaksian untuk rekan-rekannya dari berbagai fakultas.
“Namaku Chandra Sembiring … Aku sering bicara nasionalisme di GMKI, tapi aku tidak pernah tahu bagaimana nasionalisme menurut Al Kitab. Aku baru tahu lewat buku ini …”
Entah apa perasaan para mahasiswa sewaktu mendengar kesaksiannya, tetapi saya sendiri disusupi rasa gembira sekaligus gundah. Gembira karena Chandra sudah tahu apa kata kitab sucinya tentang nasionalisme dan sudah banyak membagikannya kepada kawan-kawannya, khususnya di GMKI Sumedang. Gundah karena bertanya-tanya: mengapa, setelah sekian lama hidup sebagai orang Nasrani Indonesia, Chandra (dan kawan-kawan) baru tahu bagaimana nasionalisme menurut Al Kitab? Apa yang salah?
Sekitar tiga bulan kemudian saya kutip kesaksian Chandra dalam sebuah retret kawan-kawan FISIP (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) Unpad dan berkomentar, “Menyedihkan. Kekristenan telah terbajak, seolah-olah hanya untuk rohaniwan, Pekabaran Injil, dan Penelaahan Alkitab saja.” Saya kutip pula arahan salah satu sesi yang dibuat panitia retret: “Firman dianggap hanya bisa dipakai untuk menyelesaikan masalah ‘rohani’ saja. Padahal Firman bisa digunakan sebagai solusi untuk masalah apa pun. Firman bisa digunakan untuk menantang zaman yang semakin bengkok dan kehilangan arah.”
Tepat sekali. Saya rasa karena dunia Nasrani Indonesia selama ini cenderung menganggap Firman “hanya bisa dipakai untuk menyelesaikan masalah ‘rohani’ saja,” maka angkatan muda Nasrani tidak pernah tahu tentang keampuhannya menyelesaikan “masalah apa pun.” Saya rasa karena dunia Nasrani Indonesia langka mengupas, menulis, dan menekankan ajaran Al Kitab tentang kebangsaan, maka Chandra dan kawan-kawan, para tunas gereja dan bangsa, tidak pernah tahu “bagaimana nasionalisme menurut Al Kitab.”
Sejatinya, tentu saja, kenasranian adalah untuk segala bidang hidup kita di bumi ini—bukan untuk kebaktian belaka!—khususnya di tengah bangsa tempat Allah menghadirkan kita sebagai garam dan terang.
***
Kenasranian yang untuk segala bidang hidup kita itu akan Anda jumpai dalam helai-helai halaman buku Memandu Bangsa ini. Sebagai sambungan buku kedua saya, Orang Nasrani, Pandu Bangsamu! (ONPB! atau Buku I), Memandu Bangsa (atau Buku II) meluaskan dan menjabarkan topik-topik Buku I dalam tautan nyata hidup kita di Indonesia. Telah saya putuskan untuk tidak meneruskan judul Buku I dalam Buku II. Memandu Bangsa rasanya lebih ringkas, padat, dan mudah diingat. (Kalau Buku I sampai turun cetak lagi, judulnya akan disesuaikan dengan Buku II ini.)
Dalam Buku I telah saya tandaskan fakta bahwa Allah adalah raja atas bangsa-bangsa (Mzm. 47:8-9). Raja Agung ini ingin agar rakyat-Nya, yakni bangsa-bangsa, mewujudkan kehendak-Nya di bumi seperti di surga. Untuk itu dibangkitkan-Nyalah ratusan, ribuan, jutaan, bahkan ratusan juta warga/rakyat/anak bangsa di tengah bangsa-bangsa sebagai pandu bangsa. Mereka ini—atau kita—harus memandu bangsa di segala bidang hidup demi kemuliaan Allah dan kebaikan sesama.
Dari situ nalar mungkin mengantar tualang angan kita lebih lanjut. Kita merenung: sekiranya hal itu benar, tentulah Al Kitab memuat asas-asas pemanduan bangsa di segala bidang hidup. Masakan Allah menetapkan manusia sebagai pandu bangsa tetapi tidak memberinya acuan-acuan untuk kegiatan memandu itu? Tergelitik oleh penasaran, saya lantas menggeladah Kitab Suci untuk membuktikan sendiri penalaran tersebut. Memang tepat! Memang demikian adanya! Dan sekarang, dengan kegirangan seorang yang menemukan banyak manikam terpendam, saya suguhkanlah hasil geladahan itu di hadapan Anda.
Jadi, dalam tujuh pasal di muka, Anda akan melihat bahwa Al Kitab menggariskan bagi kita asas-asas memandu bangsa dalam hal:
§ Menekuni pekerjaan apa pun yang dijatahkan Allah kepada kita (pasal 1);
§ Menyelaraskan perbuatan kita dengan ucapan, pendengaran, dan penglihatan kita (pasal 2);
§ Mengkaji sejarah pembentukan bangsa (pasal 3);
§ Mengolah produk khas kita (pasal 4);
§ Menangkal kecabulan (pasal 5);
§ Menanggulangi kemiskinan dengan kedermawanan (pasal 6);
§ Mengasuh dan mendidik anak, yakni tunas bangsa (pasal 7).
Perlu saya sebutkan bahwa ketujuh pasal itu utamanya saya susun untuk menandaskan ide-ide dasar Al Kitab tentang pokok bahasan yang bersangkutan. Terapan/tindak nyata memang saya cantumkan juga, tetapi kebanyakan terbatas kepada yang umum, praktis, dan mudah dikerjakan semua orang Nasrani. Terapan/tindak nyata yang lebih khusus dan/atau besar (misalnya: membentuk lembaga pengentas kemiskinan sebagai pewujud kedermawanan) dipulangkan kepada setiap pembaca menurut ketergerakan, kapasitas, dan kekreatifan masing-masing. Banyak hal, saya yakin, bisa kita bangun dan kembangkan di atas dasar-dasar Al Kitab yang dikemukakan.
Ketujuh pasal itu pun saya gubah sedemikian rupa untuk dinikmati nalar, filosofi, dan sasteranya. Sebab itu, bahasan teknis ala skripsi atau disertasi yang kejur tidak akan Anda dapatkan di sini. Saya berleluasa dan berlincah-lincah bertutur. Pasal 7 bahkan saya gubah dalam bentuk surat kepada puteri sulung saya—semacam kesaksian yang dibagikan untuk Anda pilah atau petik sendiri manfaatnya, mana yang cocok dengan diri dan keadaan Anda.
Dan, tentu saja, ketujuh pasal itu tidak memuat seluruh asas memandu bangsa yang digariskan Al Kitab. Masih ada lebih banyak lagi dalam Kitab Suci yang menanti untuk digali dan dituliskan. Anda pastinya bisa menolong memulihkan bangsa dengan turut menggali dan menuliskannya. Hati saya akan bersorak gembira melihat bala bantuan yang datang.
Memulihkan bangsa, ya, masih topik itu. Meski memandu bangsa berterap dalam keadaan bangsa yang bagaimanapun (susah atau senang, galau atau girang), ide-ide ini khususnya penting dalam masa terpuruk seperti sekarang. Ketika saya rampungkan Memandu Bangsa, bangsa kita belum juga pulih dari sakitnya. Saya mengetik naskah di tengah rintih nyeri bangsa karena kenaikan BBM menjerumuskan belasan juta rakyat lagi ke lubang kemiskinan yang sudah mengurung puluhan juta rakyat; karena kemelut listerik mengakibatkan pemadaman di mana-mana di Nusantara sehingga pemodal dalam negeri rugi uang dan pemodal luar negeri ragu datang; karena perusakan alam meluaskan kebotakan hutan di kulit bumi Indonesia; karena aparat penegak hukum dan keamanan tidak sigap mengatasi tikai, korup, dan rongrongan berbangsa; dsb, dsb.
Buku ini, seperti dua buku saya yang terdahulu, berseru kepada kaum “garam dan terang” untuk ambil peran di tengah bangsa. Paradigma-paradigma baru saya bukakan untuk mendepak paradigma lama bulukan tentang kebangsaan yang berupa kosmetik saja di lingkungan Nasrani kita: yang mencium bendera Merah Putih tanpa punya hati Merah Putih; yang bicara Allah mengasihi Indonesia tetapi berlagak keasing-asingan; yang berdoa minta Allah memulihkan Indonesia tanpa berkarya serius dan khusus bagi Indonesia. Sudahlah dengan semua itu! Bukalah buku ini, bukalah hati Anda, dan izinkanlah Allah menjadikan Anda pandu bangsa yang sejati—Nasrani sejati dan Indonesia sejati.
Nasrani—beberapa pembaca buku-buku saya yang terdahulu bertanya tentang pilihan kata itu. Mengapa bukan “Kristen”? Beberapa hal bisa saya kemukakan, tetapi sejujurnya tidak ada alasan yang terlalu mendasar. Nasrani lebih dulu dikenal. Saudara-saudara Muslim di Indonesia, kaum yang terbesar jumlahnya, mengenal kita secara umum dengan nama itu berdasarkan kitab suci mereka. Orang Maluku Kristen—“buah sulung” Allah di Nusantara—sampai hari ini masih menyebut diri mereka Sarani, dari Nasrani. Dan, karena berasal dari keluarga ABRI, dulu saya sering menghadiri perayaan Natal-bersama umat Nasrani (Katolik, Protestan, dll jadi satu). Jadi, ada nuansa sejarah dan kesatuan dalam kata Nasrani. Keunikan itulah yang hendak saya usung, walau jelas saya gunakan kata Nasrani tumpang tindih dan sefungsi dengan kata “Kristen.” (Dalam tulisan/karya lain saya juga menggunakan kata “Kristen.”)
Ada pula yang berkomentar bahwa ide-ide pandu bangsa seharusnya mencapai semua orang Indonesia, “bukan cuma orang Kristen saja.” Tentu. Saya tidak bisa tak sepakat. Ide-ide itu memang seharusnya disimak dan dijiwai anak-anak bumi Indonesia—dari suku, budaya, dan agama apa pun. Namun, berdasarkan pengalaman hidup Nasrani saya sejauh ini, saya merasa diarahkan langit (“surga” maksudnya) untuk mendahulukan menulis kepada saudara-saudara seiman, yakni mereka yang pedoman hidupnya sama dengan saya. Mereka harus celik/dicelikkan akan pandangan Allah, Tuhan mereka, tentang ini itu, khususnya kebangsaan. Mereka harus sadar/disadarkan akan keampuhan Firman, pedoman hidup mereka, dalam menyelesaikan “masalah apa pun.” Karenanya, banyak kutipan Al Kitab harus dihidangkan di depan mereka—hal yang tentunya kurang kena-mengena dengan saudara-saudara tak seiman yang pedoman hidupnya berbeda. Saudara-saudara ini, saya percaya, akan mendapat penulis-penulis lain yang ditugaskan langit untuk mengusung ide-ide serupa dalam bahasa kebersamaan yang khas. (Mungkinkah Anda salah satu “petugas” itu? Karya-karya Anda sedang ditunggu ibu pertiwi!)
***
Udara malam di Jatinangor dingin, tetapi Delina hampir tak merasakannya di kamar kosnya. Bukan karena ada mesin penghangat ruangan di situ, tetapi karena hatinya membara oleh buku yang sedang dibacanya, Orang Nasrani, Pandu Bangsamu! “Karena saya biasanya meluangkan waktu untuk membaca [ONPB!] pada malam hari, jadi pada saat itulah terbakar semangat patriotisme Indonesia saya,” tulisnya kepada saya.
Delina, pemudi Tionghoa asal Indramayu, sudah lama punya hati bagi bangsanya. Ia biasa “menyisipkan sedikit doa bagi bangsa Indonesia di setiap saat teduh pagi.” Di Jatinangor, ia pun menjadi Koordinator Senat (Badan Eksekutif Mahasiswa) fakultasnya di Unpad. Namun, lewat ONPB!, dan juga DADI, ia “baru menyadari dan memaknai [patriotisme]; … lebih bergairah untuk melakukan pekerjaan baik [rujukan kepada Ef. 2:10] demi Allah dan Indonesia” dan “lebih sungguh-sungguh berdoa.”
Seperti Chandra si pemuda Karo, Delina pun baru celik dan sadar tentang ide-ide kebangsaan menurut Al Kitab, meski telah sekian lama hidup sebagai orang Nasrani Indonesia. Dan kalau Chandra, sebagai warga GMKI, terilhami untuk membagikan ide-ide itu kepada kawan-kawannya, maka Delina, sebagai Koordinator Senat, terilhami untuk menggagas seminar pelatihan karya tulis ilmiah yang bertemakan patriotisme. Ketika Catatan di Hulu ini saya susun, ia tengah mengusahakannya. Tulisnya: “Tetap berdoa dan berusaha agar seminar ini sukses diadakan di kampus tercinta saya biar seluruh masyarakat kampus saya juga menjunjung tinggi nilai-nilai bangsa Indonesia.”
Saya kira Allah, yang membuat anak-anak bangsa terlahir di tengah bangsa sebagai pandu bangsa, tersenyum menengok kiprah mereka. Membagikan ide-ide kebangsaan dan menggagas seminar pelatihan karya tulis ilmiah yang bertemakan patriotisme mungkin kecil saja di mata beberapa orang, tetapi keduanya pastilah memandu bangsa, pastilah modal memajukan bangsa. Bukankah kepanduan, seperti saya tulis dalam Buku I, adalah ide tentang anak bangsa yang harus berkiprah di tengah bangsanya dengan apa yang ada padanya? (Saya ingat acara parodi Republik Mimpi beberapa waktu lalu punya lagu tema yang liriknya senada: “Ayo kita semua bangun dari mimpi, berbuat segera sekecil apa pun.”) Mulai pasal 1 buku ini Anda akan lebih lagi menyelami ide tersebut.
Bagaimanapun, saya yakin, mata yang celik dan hati yang sadar akan fitrah bangsa adalah obat utama bagi permasalahan bangsa. Dan bagi saya, betapa ajaibnya Allah, Tuhan kita, karena mencetus pencelikan dan penyadaran ini di antara kita dengan ide-ide yang sudah sejak purbakala termaktub dalam Kitab-Nya. Buku tua itu melakukan lagi kebajikan yang sudah dilakukannya kepada banyak bangsa selama berabad-abad! Karenanya, di hulu sini saya berdoa: semoga ide-ide Al Kitabiah dalam helai-helai halaman di muka mencelikkan dan menyadarkan lebih banyak lagi anak bangsa. Semoga berduyun-duyun anak bangsa yang “sama berapi” menyumbangkan nyalanya di tengah rundungan gelap atas bangsa. Dan, apa pun kebaikan yang dihasilkannya, semoga segala kemuliaan semata-mata berpulang kepada Allah di dalam Yesus Kristus, Firman yang telah menjadi manusia. Selamat menyimak!