(14 x 21) cm; 203 hlm; HVS 70 gr; 2011
ISBN: 978-602-97520-1-4
Cetakan ke-2
Rp 45.000
Seorang Syeikh Muslim Irak dan Yesus
Di bulan Mei 2001, saya takjub bagaimana Allah menempatkan saya di tengah para petinggi Irak pada suatu konferensi dialog Muslim-Kristen di Baghdad, yang diprakarsai oleh Saddam Hussein. Di sanalah saya. Sebelumnya, kami mengadakan tur keliling negeri dari utara ke selatan, melihat Babel kuno dan Kota Niniwe yang berumur empat ribu tahun, tempat Yunus pernah berkhotbah, dan bertemu dengan orang-orang Irak yang baik. Selama konferensi, para uskup Kasdim dan Syria, para penatua, dan sebagainya berbicara tentang sejarah gereja mereka yang telah berumur dua ribu tahun. Namun, pada acara penutupan di Saddam Hussein Hall, satu-satunya pembicara non-Kristen hari itu—pemimpin Muslim Syi’ah di Irak—adalah orang yang paling bergairah bicara mengenai Yesus. Luar biasa.
Ia berbicara langsung dari Yohanes pasal delapan, tentang Yesus dan perempuan yang kedapatan berbuat zinah. Dua ribu orang duduk terperangah, bukan karena melihat seorang Muslim berbicara tentang Yesus—itu biasa terjadi—namun karena ia berbicara dengan penuh otoritas, sepertinya ia tahu lebih banyak tentang Yesus daripada perkataannya hari itu. Caranya membaca ayat-ayat Alkitab dengan bebas, juga sedikit ganjil. Setelah selesai bicara, ia menuruni podium dan melangkah keluar lewat pintu belakang bersama rombongannya.
Tanpa tunggu lagi, saya bergegas ke belakang untuk melihat apakah saya bisa bicara sebentar dengannya. Saya menemuinya dan menyampaikan betapa saya terkesan oleh apa yang disampaikannya. Lalu, saya bertanya, apakah ia sudi datang ke Libanon dan meluangkan waktu bersama saya dan para pemimpin lainnya (sebagian besar orang Muslim), yang sama-sama mempelajari dan berbicara tentang Yesus. Matanya berbinar seraya mengatakan YA! Satu-satunya masalah adalah, tidak seorang pun bisa meninggalkan Irak tanpa izin resmi, dan ia harus memperoleh izin itu dari seorang menteri koordinator dalam pemerintahan. Ia memberikan nama orang yang saya perlu tanyai, seseorang yang mungkin juga hadir dalam konferensi itu. Ketika kami saling mengucapkan salam perpisahan, sang ustadz mengatakan, “Insyaallah (jika Allah menghendaki) saya akan menemui Anda di Beirut suatu hari nanti.” Terus terang, saya merasa naif sekali beranggapan bahwa pertemuan itu mungkin saja terjadi.
Lalu mulailah saya mencari-cari anggota kabinet yang disebutkan oleh ustadz itu. Keesokan harinya, saya melihat sang menteri di lobi hotel, dikawal ketat oleh para pengawal bersenjata. Setelah ditolak oleh dua orang pengawal, pengawal ketiga mengizinkan saya berbicara dengan bapak menteri, yang mengenakan seragam Angkatan Darat dan sarat dengan berbagai tanda kehormatan militer.
Saya menghadap dan kata-kata pun meluncur dari bibir saya, “Hai, nama saya Carl. Saya seorang Amerika yang tinggal di Beirut dan saya datang untuk menghadiri konferensi ini. Saya mendengar kawan Anda, syeikh itu, menjadi pembicara kemarin. Beliau berbicara tentang Yesus dengan cara yang sangat karib, dan saya mengundang beliau ke Libanon, tetapi katanya beliau perlu izin dari Anda, dan sekarang saya menghadap Anda. Jadi, apakah beliau bisa pergi ke sana?”
Sang menteri tampak syok mendengar rentetan perkataan saya, tetapi ia segera memandang sekeliling dan katanya, “Mari.” Kami pergi ke balik sebuah dinding separuh.
“Saya akan memberinya izin, dengan satu syarat.”
“Baiklah, apa itu?” tanya saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar